Mohon tunggu...
KOMENTAR
Lyfe

Bolak-balik Bioskop Gara-gara Film Indonesia (Soekarno dan TKVDW)

24 Desember 2013   08:36 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:33 518 1

Sebelumnya, aku tidak seperti ini. Tidak pernah begitu merasa excited akan film-film Indonesia. Jujur saja, pernah ada pemikiran “Untuk apa repot-repot nonton film Indonesia di bioskop? Toh tidak lama lagi akan tayang di layar televisi.” Tapi kenyataannya pemikiran itu agak bergeser beberapa hari ini. Film “Soekarno” yang ramai dibicarakan banyak orang, membuat rasa penasaranku tak terbendung.

Di awal penayangannya pada 11 Desember 2013, reaksiku biasa saja. Aku memang datang ke bioskop sih, tapi lebih memilih untuk menonton serial kedua The Hobbit. Aku cuma sempat berbisik, “Oh, Soekarno udah tayang ya?”

Sebagai pengamat lini masa Twitter, aku melihat bahwa banyak orang yang memuji akan ide dan jalan cerita film tersebut di beberapa hari setelah penayangannya. Meskipun sebenarnya film tersebut masih ada kontroversi antara kubu keluarga Bung Karno dengan kubu Hanung Bramantyo cs.

Baiklah. Akhirnya aku bulatkan tekad untuk menonton sendiri film tersebut, yah daripada tidak sama sekali. Sudah siap-siap selepas pulang kerja, eh tapi kondisi jalan tidak bersahabat. Kemacetan sudah menguras tenagaku, dan aku pun melepas niatanku melihat akting Ario Bayu dkk hari itu.

Tapi untungnya, niatku menonton film tersebut ter-amin-i oleh 2 orang temanku yang mau menemani beberapa hari kemudian. Diawali dengan mengumandangkan lagu Indonesia Raya bersama-sama, jadilah kami menyaksikan film berdurasi 137 menit yang mengisahkan sejarah panjang Bung Karno dalam merebut kemerdekaan.

Tokoh Soekarno diperankan dengan apik oleh Ario Bayu. Sosok Inggit jadi semakin naik ke permukaan setelah diperankan dengan penuh penghayatan oleh Maudy Koesnaedi. Tika Bravani, muncul sebagai tokoh Fatmawati yang di awal cerita sempat membuat aku gemas bukan main dengan kehadirannya di antara rumah tangga Soekarno-Inggit. Ada pula Bung Hatta yang diperankan oleh Lukman Sardi yang membuatku jadi tahu bahwa Bung Hatta adalah sosok pemikir yang netral dan jarang tersenyum.

Dari film ini, tergambar bahwa Soekarno adalah pemuda yang sedari awal sudah melihat penindasan yang dialami oleh bangsanya. Dia berjuang dengan mulai belajar berorasi, membangun organisasi, sempat teasing, dan pada akhirnya dikenal sebagai tokoh yang mampu menggenggam hati rakyat. Soekarno pun menjadi sosok yang paling dicari oleh Jepang saat Jepang berhasil menduduki Indonesia setelah merebutnya dari Belanda. Dari situlah terlihat bagaimana cara Soekarno berpolitik, dengan melakukan kompromi-kompromi politik yang tidak jarang malah membuat dirinya dicap sebagai pengkhianat. Tapi toh akhirnya Soekarno berhasil membuat lagu Indonesia Raya dikumandangkan dan bendera Merah Putih dikibarkan. Itulah kisah yang coba diangkat oleh Hanung Bramantyo, supaya kita yang hidup pada masa sekarang bisa mengenal dan mengambil nilai positif dari perjuangan Bung Karno pada waktu itu. Dua jempol untuk film ini!

Belum habis kekagumanku akan film Soekarno, kudengar lagi pujian-pujian orang untuk film Tenggelamnya Kapal Van der Wijck (TKVDW). Ah, masa iyaa aku harus ke bioskop lagi? Aku sempat galau.

Sore kemarin, alam sedang merestui. Jalanan lancar selepas pulang kerja, dan dapat pula jam tayang yang pas! Mari kita kembali ke tahun 1930 dan rasakan sensasi hidup di ranah Minang.

Film yang diangkat dari novel karya Buya Hamka ini, diperankan oleh 2 tokoh utama, Herjunot Ali sebagai Zainuddin, dan Pevita Pearce sebagai Hayati. Di awal film, aku sempat tersenyum sendiri melihat cara dialog yang tak biasa. Logat daerah terdengar kental.

Seandainya aku punya 5 jempol, pasti akan kuberikan untuk akting Herjunot Ali di film tersebut. Saat sosok Zainuddin menjadi tokoh yang terbuang dan dikucilkan, saat akan meninggalkan Hayati di Batipuh, saat meluapkan kekecewaanya yang terpendam sekian lama kepada Hayati, dan saat dia harus melepas kepergian Hayati untuk selamanya, semuanya diperankan dengan luar biasa. Ah, semuanya sukses membuat aku tak bergeming. Ditambah lagi dengan iringan lagu tema yang selalu mengena di tiap adegan. Takjub!

Saat film Soekarno lebih mengangkat kisah perjuangan, lain lagi dengan film TKVDW yang lebih menjual kisah cinta klasik penuh drama. Tapi kuakui, keduanya adalah film bagus. Film karya anak bangsa yang layak untuk segera disaksikan di bioskop tanpa harus menunggu tayang di televisi. Tak sia-sia aku bolak balik ke bioskop. Yang belum menonton, kusarankan pergilah lekas. Sudah saatnya film Indonesia jadi tuan rumah di negeri sendiri.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun