"Ilmu itu seperti ladang, Nak," kata ayahnya suatu sore di beranda rumah mereka. "Semakin kau tanam, semakin banyak yang bisa kau panen. Tapi ingat, ladang itu harus kau cari, karena di sini tanahnya belum cukup subur untuk mimpimu." Â
Kata-kata itu melekat di hati Amir. Maka, pada suatu pagi yang cerah, dengan tas kain berisi pakaian, sedikit makanan, dan restu keluarganya, Amir memulai perjalanan panjangnya. Â
-Perjalanan yang Melelahkan-Â
Langkah-langkah Amir terasa berat saat ia menyusuri jalan berbatu menuju kota besar. Terik matahari membakar kulitnya, tetapi semangat dalam hatinya membuatnya terus melangkah. Â
Di tengah perjalanan, ia sampai di sebuah desa lain yang memiliki masjid besar dengan taman rindang. Ia berhenti sejenak untuk beristirahat. Saat itu, seorang ulama tua sedang duduk di serambi, mengamati Amir dengan senyum ramah. Â
"Anak muda, kau tampak lelah. Apa yang membawamu ke sini?" tanya sang ulama, memperkenalkan dirinya sebagai Sheikh Hasan. Â
Amir menyeka peluhnya, lalu menjawab, "Saya sedang dalam perjalanan mencari ilmu, Tuan. Mereka bilang, untuk menjadi orang yang berhasil, kita harus menuntut ilmu, bahkan jika harus pergi sejauh negeri Cina." Â
Sheikh Hasan tertawa kecil. "Ah, nasihat itu sering dikutip orang, meski sebenarnya bukan hadis yang shahih. Namun, semangat yang terkandung di dalamnya benar adanya. Ilmu harus dicari, walau harus menempuh jalan panjang." Â
Amir tertegun. "Jadi, itu bukan hadis, Tuan?" Â
"Bukan, tetapi maknanya tidak salah. Belajarlah, anak muda. Tapi ingat, ilmu bukan hanya soal seberapa jauh kau mencarinya, tetapi seberapa baik niatmu dan bagaimana kau akan memanfaatkannya." Â
Kata-kata itu menjadi pelita dalam hati Amir. Ia melanjutkan perjalanan dengan tekad baru, membawa pesan dari Sheikh Hasan: bahwa ilmu harus dicari dengan niat yang tulus, bukan sekadar demi keuntungan diri sendiri. Â
-Kembali dengan Harapan Baru-
Bertahun-tahun berlalu. Amir telah belajar banyak dari para pedagang besar, guru-guru hebat, dan pengalaman hidup di kota. Ia memahami strategi perdagangan, pentingnya kejujuran, dan bagaimana membangun hubungan yang baik dengan orang lain. Â
Ketika akhirnya ia kembali ke desanya, Amir tidak hanya membawa pengetahuan, tetapi juga mimpi yang lebih besar. Ia mendirikan sebuah sekolah kecil di tengah desa, mengajarkan ilmu perdagangan dan nilai-nilai kehidupan kepada anak-anak muda. Â
"Ilmu itu harus dibagikan, bukan disimpan sendiri," katanya kepada murid-muridnya suatu hari. "Kalian tidak perlu menempuh perjalanan sejauh yang pernah aku lakukan. Ilmu itu sekarang ada di sini, tinggal kalian yang harus berusaha meraihnya." Â
Amir mengajarkan bahwa menuntut ilmu bukan sekadar perjalanan fisik, tetapi perjalanan hati dan pikiran. Nasihat tentang menuntut ilmu, meskipun bukan hadis shahih, menjadi pengingat bagi banyak orang untuk tidak pernah berhenti belajar dan berbagi. Â
Di desanya, Amir menjadi inspirasi. Ia adalah bukti bahwa ilmu yang dicari dengan niat yang benar akan selalu membawa manfaat, tidak hanya bagi diri sendiri, tetapi juga bagi banyak orang di sekitarnya.