Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora

Tidak Usah Bersumpah, Wahai Pemuda!

28 Oktober 2011   07:30 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:23 153 0

Ada lima faktor yang bisa memperkuat persatuan Indonesia yaitu sejarah, bahasa, hukum adat, pendidikan, dan kemauan. (Moehammad Yamin, penulis rumusan sumpah pemuda).

Meresapi kembali makna Sumpah Pemuda, yang selalu diperingati pada tanggal 28 Oktober setiap tahunnya, seharusnya, mampu membangkitkan kembali semangat nasionalisme seluruh elemen bangsa Indonesia, khususnya bagi para pemuda sebagai generasi penerus bangsa. Namun, semua itu tergantung kepada seberapa jauhkah kita memaknai hari bersejarah tersebut.

Tengoklah pada saat diikrarkannya Sumpah Pemuda 83 tahun silam, atau pada tanggal 20 Mei 1908 yang merupakan hari Kebangkitan Nasional, danjuga pada saat Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945. Masa-masa tersebut adalah masa yang penuh dengan semangat juang para pahlawan kita, demi terbebasnya Indonesia dari cengkraman koloni asing. Maka, sudah sepatutnya dimaknai dengan memompa kembali antusias kita sebagai bangsa yang harus benar-benar merdeka. Bukankah bangsa yang besar adalah bangsa yang menjunjung tinggi dan tak akan pernah lupa akan sejarahnya?

Sejarah adalah masa lalu, tapi sejarah selalu memberikan opsi untuk memecahkan masalah-masalah kontemporer sehingga senantiasa abadi untuk dipelajari.

Dan sekarang, lihatlah apa yang terjadi dewasa ini di sekitar kita. hampir setiap hari, selalu saja ada peristiwa dan kejadian ironis yang seakan menghadirkan kesan dekadensi kecintaan bangsa ini terhadap tanah airnya. Tawuran antar pelajar sudah menjadi tradisi, bentrok antara warga kerap terjadi, kemiskinan dan busung lapar masih banyak dijumpai, apalagi berita tentang korupsi tidak pernah terhenti. Bagaimana jadinya Indonesia di masa yang akan datang jika semua ini terus terjadi?

Adalagi, di saat para pemuda Indonesia lebih bangga meniru tradisi bangsa asing dengan mengadopsi cara mereka berpakaian, lagu-lagu yang dipopulerkan, gaya hidup yang jauh berbeda dengan budaya bangsa kita,justru orang asing banyak sekali yang tertarik dengan kultur dan bahasa Indonesia.

Hingga tahun 2011 ini saja, ada 45 negara yang mengajarkan bahasa Indonesia di sekolah, seperti di Australia, Amerika, Kanada, Vietnam, dan masih banyak lagi. Meski tidak diajarkan di semua sekolah, namun antusias siswa dalam mempelajarinya sangat luar biasa. Di Australia contohnya, bahasa Indonesia menjadi bahasa popular ke empat dan diajarkan di lima ratus sekolah.

Kendati demikian, bangsa kita sendiri belum seluruhnya mengerti dan bisa berbicara bahasa Indonesia, khususnya penduduk yang berada daerah pelosok. Mereka hanya menggunakan bahasa daerah dimana mereka tinggal. Dampaknya tentu akan sangat irasional, bagaimana bisa orang Indonesia tidak mengerti bahasa Indonesia?

Di samping itu, tarian daerah Indonesia juga sangat menarik perhatian bangsa asing. Tidak sedikit dari mereka yang mempelajarinya. Terlebih-lebih setalah adanya program beasiswa dari Kementrian Luar Negeri Indonesia (Kemenlu) bagi mahasiswa asing yang mendalami budaya Indonesia. Program ini pastinya akan menambah spirit dan nilai plus bagi mereka.

Tidak ada salahnya memang dalam hal meniru budaya asing yang dinilai positif. Namun sangat disayangkan jika bangsa kita meniru budaya asing hanya untuk berfoya-foya semata. Sementara orang asing saja mendalami budaya dan bahasa kita untuk dipelajari. Apabila semakin hari semakin banyak pemuda Indonesia yang meninggalkan identitas dan karakter kebangsaannya, maka tidak menutup kemungkinan secara perlahan kita akan terjajah kembali dari segi bahasa dan budaya.

Ibarat seseorang yang tidak memiliki jati diri, sangat mudah sekali terombang-ambing kesana-kemari, mudah dikelabui, mudah pula mengikuti arah yang dianggapnya menarik hati, padahal belum tentu yang menarik itu baik. Demikianlah negara kita jika bangsanya sudah banyak yang meninggalkan jati diri demi meniru bangsa asing.

“Bangsa yang tidak percaya kepada kekuatan dirinya sebagai suatu bangsa, tidak akan dapat berdiri sebagai suatu bangsa yang merdeka”, demikian kutipan pidato Bung Karno pada HUT Proklamasi 1963.

Kembali menjadi hamba sahaya bagi orang asing di rumah kita sendiri adalah mimpi buruk bagi kita semua.Jika sampai saat ini kemerdekaan belum dirasakan oleh seluruh komponen bangsa, apalagi rakyat jelata, karena secara ekonomi kita masih menengadahkan tangan kepada bangsa asing, maka jangan sampai budaya kita juga turut dikuasai oleh mereka.

Seharusnya kita bangga dengan beragam kultur dan seni yang ada di negara kita. Sebagai contoh, ada 250 suku lebih di provinsi Papua Barat. Apabila diasumsikan bahwa satu suku memiliki satu jenis tarian daerah, itu berarti, ada 250 jenis tarian daerah di Papua Barat saja. Bila dihitung dari 33 provinsi yang ada di Indonesia dengan beragam suku dan etnisnya, maka dapat dibayangkan, betapa banyak tarian tradisional yang dimiliki Indonesia. Tarian tradisional tersebut tidak lain adalah warisan leluhur kita yang harus dilestarikan, demikian pula dengan warisan laluhur kita yang beberapa di antaranya sudah diakui dunia.

Setidaknya, UNESCO telah mencatat 11 warisan dunia yang berasal dari Indonesia, di antaranya: kesenian tradisional Wayang, Keris, Batik, Angklung, candi Borobudur, Prambanan, Sangiran, hutan Tropis Sumatra, Taman Nasional Lorenz, dan Taman Nasional Ujung Kulon di Banten.

Melestarikan kebudayaan dan warisan leluhur tentu adalah tanggung jawab kita bersama selaku bangsa Indonesia. Baik pemerintah, maupun rakyatnya. Jangan hanya saling menghakimi satu sama lain ketika terjadi perselisihan seperti beragam polemik yang terjadi beberapa waktu lalu mengenai direbutnya peninggalan leluhur yang kita klaim sebagai milik kita.

Kita semua satu, bangsa Indonesia, disatukan oleh satu bahasa, bahasa Indonesia. Betapa indahnya negara kita saat kita bersatu-padu tanpa pandang bulu, saat kita bergotong-royong saling menolong, saat kita bekerja-sama saling berkarya. Namun betapa kacaunya negara kita apabila kita saling sinis dan apatis. Rakyat sinis terhadap pemerintahnya, pemerintah apatis terhadap rakyatnya. Yang tercipta antara keduanya tak lain hanyalah krisis kedamaian semata.

Apalah arti negara kita yang memiliki aneka kekayaan alam dan budaya jika tidak ada kemauan yang kuat dari bangsanya. Kemauan untuk terus melestarikannya, kemauan untuk tetap menjaganya. Sudah saatnya kita bangkit, menyingsingkan lengan, meneriakan semangat persatuan. Orang asing tidak akan berani mengeruk kekayaan negara kita jika kita memang tidak memperkenankannya.

Betapa banyak energi yang harus terbuang sia-sia ketika para pemuda sibuk dengan kerusuhan dan tawuran, apalagi jika pemicu masalah adalah hal sepele yang seharusnya bisa diatasi dengan introspeksi, bukan emosi. Akan lebih baik tentunya jika waktu yang terbuang sia-sia itu digunakan untuk adu otak, bukan adu otot.

Tidak perlu menunggu tanggal 28 Oktober untuk bersumpah kembali mengaku bertumpah darah satu, tanah Indonesia, berbangsa yang satu, bangsa Indonesia, dan menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia, jika akhirnya sumpah sakral itu dilanggar juga dengan tindakan-tindakan yang mencoret nama baik bangsa. Namun alangkah baiknya jika setiap hari kita menerapkan makna Sumpah Pemuda tersebut, dengan mengaplikasikannya dalam keseharian kita.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun