Ibu itu punya alasan sederhana: ia tidak melihat hubungan yang kuat antara ranking dengan keberhasilan seseorang di dunia profesional. Sehingga, ia tidak mau membebani anaknya dengan target-target yang mubazir.
"Sejauh hubungan sosialnya baik, sikapnya baik, cukup," katanya kemudian, menambahkan.
Sebenarnya apa yang dipikirkan ibu itu tentang ranking sudah dibahas panjang lebar oleh para ahli dalam berbagai disiplin ilmu, baik pendidikan, psikologi, bisnis, sampai pengembangan diri.
Pandangan-pandangan tentang nir-hubungan antara ranking dengan kesuksesan pun bukan sedikit jumlahnya. Kita bisa membaca itu lewat publikasi ilmiah, buku populer, sampai artikel ringan yang bisa diakses hanya dengan jari-jemari.
Lantas mengapa banyak orang tua yang masih terobsesi pada ranking? Saya kurang setuju kalau yang kita salahkan hanya karena minim literasi. Sebab, faktanya tulisan-tulisan populer tentang masalah ini laku keras di pasaran. Buku-buku Robert T. Kyosaki atau David Epstein, misalnya.
Saya kira, modus operandi begitu terobsesinya para orang tua terhadap ranking anaknya adalah dorongan hasrat.
Hasrat ini dalam bukunya Kyosaki juga disebut ketamakan. Sedangkan dalam istilah Fromm disebut the libido (of live). Kedua orang ini sepakat kalau hasrat tidak dikendalikan oleh akal, tetapi nafsu.
Jadi, bisa dipahami mengapa fakta-fakta ilmiah, meskipun populer, tetap tidak bisa begitu saja mengubah persepsi orang tentang satu hal. Sebab, yang digunakan orang dalam menilai suatu hal bukan saja timbangan reason. Justru hasratlah yang lebih sering digunakan dalam menimbang sesuatu.
Saya jadi teringat perkataan seorang ahli marketing. Dalam bukunya yg (justru) kurang populer, ia berkata jujur, "Konsumen yang kita hadapi adalah organisme yang terdiri dari 80% emosi dan 20% logika."
Kembali lagi ke si ibu di awal. Saya berterima kasih kepada ibu itu karena visinya tentang pendidikan anak yang diutarakannya telah membuat hati saya lega. Setidaknya saya berharap, si ibu menularkan pikirannya itu kepada teman²nya yang lain, sesama orang tua. Sehingga, anak-anak bisa menikmati kegiatan belajar sebagai proses, dan bukan hanya skor.