"Sial! Semuanya udah pulang duluan," gerutumu, memecah keheningan. Sesekali berdecak sebal walau jemari masih menari di papan ketik.
Sepertinya ada sesuatu yang terpindai oleh sudut netra. Membuatmu melirik secara perlahan tanpa harus memutar leher. Kemeja batik berlengan pendek yang digunakan membuat bulu-bulu halus di sekitar lenganmu tampak jelas saat meremang.
Jika dilihat dari peluh yang bercucuran di sekitar pelipis, sepertinya kamu merasa cemas. Apalagi kedua lututmu mulai bergetar saat menyadari lampu di ruangan itu tiba-tiba berkedip beberapa kali.
Kamu menggeleng kuat. Mungkin untuk mengenyahkan berbagai prasangka buruk yang terus menggelayuti pikiran.
"It's okay! Sebentar lagi kelar terus langsung pulang," katamu sambil mengangguk pelan. Kamu mengembus napas kasar hingga kedua pipimu terlihat menggembung.
Waktu sudah menunjukkan pukul 21.15. Akhirnya, semua tugas yang menumpuk berhasil dirampungkan. Kamu segera mematikan perangkat komputer untuk bersiap pulang.
Ruang marketing yang berada di lantai sepuluh, membuatmu harus turun menggunakan lift.
"Huh!"
Lagi-lagi kamu menghela napas. Mungkin lelah atau hanya sekadar mengeluh atas rasa penat yang mendera. Wajar saja. Ini adalah waktu yang tepat untuk bergelung dengan selimut, di atas kasur empuk nan lembut. Sayangnya pekerjaan yang menumpuk membuatmu harus pulang telat malam ini.
Pintu lift berwarna silver berderak terbuka. Memang tidak mulus seperti yang ada di gedung-gedung mewah. Sebagian tombolnya pun sudah tak jelas bentuknya. Namun, itu jauh lebih baik dari pada harus turun melalui tangga.
Di dalam lift, sudah ada seorang wanita yang berdiri di bagian sudut. Sepertinya kamu merasa ragu untuk melangkah masuk. Pupil matamu terlihat membesar bersamaan dengan jakun yang bergerak seperti habis menelan ludah.
Wanita itu tersenyum simpul seraya menunduk, seolah-olah memberi hormat. Kelihatannya dia manusia. Dapat dibedakan melalui kedua kakinya yang menapak di atas lantai. Lagi pula, mana ada hantu sejelas itu terdeteksi oleh pandangan? Bukankah mereka sering dijuluki makhluk tak kasat mata?
Setelah bergeming beberapa detik, akhirnya kamu memutuskan untuk memasuki ruang sempit berukuran 2 x 1,5 meter itu. Kemudian, menekan tombol close dan GF setelah membalas senyumannya.
Pintu lift menutup dan mulai bergerak turun. Suasana di dalam cukup hening. Hanya terdengar suara yang sedikit gaduh, mungkin berasal dari mesinnya.
Kamu memainkan kuku jempol dengan telunjuk, seolah-olah mengusir rasa canggung. Sampai akhirnya, terdengar dentingan lift sebelum pintunya terbuka.
Entah mengapa tiba-tiba kamu menoleh ke belakang secara perlahan. Seperti ingin memastikan sosok wanita tadi, atau mungkin ingin bertegur sapa untuk terakhir kali.
Alangkah terkejutnya kamu saat mendapati sosoknya telah menghilang.
Ke mana dia?
Napasmu mulai terengah-engah. Sepertinya, detak jantung pun sudah di atas 100 BPM per detik.
Sejurus kemudian, lift terbuka secara perlahan. Sementara kamu mulai menoleh lagi ke arah pintu.
Di ujung lorong—tepat beberapa meter dari arah depan—terlihat wanita tadi berjalan cepat ke arahmu. Sosokmu yang mulai terpaku disertai peluh yang kian rebas di antara kening, dengan spontan mengucap kalimat istigfar berulang-ulang.
"Astagfirullah ... astagfirullah!"
Kini wanita itu berdiri satu senti di hadapanmu. Wajah kalian saling berhadapan, begitu dekat. Dia menyeringai seraya mengikuti ucapanmu.
"Astagfirullah ... astagfirullah," ejeknya.
Kepala wanita itu menggeleng berulang kali.