Mohon tunggu...
KOMENTAR
Nature

Kongres Kehutanan Indonesia V: Akankah Menghasilkan Perubahan?

20 Oktober 2011   23:44 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:42 425 0
[caption id="attachment_136971" align="alignright" width="300" caption="Kongres Kehutanan Indonesia IV (sumber foto: http://dkn.or.id/kkiv/)"][/caption] Kongres Kehutanan Indonesia (KKI) telah lima kali dilaksanakan. Kongres yang dihadiri oleh para pemangku sektor kehutanan ini, diharapkan banyak pihak memberikan pengaruh terhadap gerak sektor kehutanan di negeri ini. KKI IV yang dilaksanakan pada tahun 2006, merupakan awal kelahirannya Dewan Kehutanan Nasional, sebagai mandat dari UU No. 41/1999 tentang Kehutanan. Awalnya DKN menjadi harapan untuk menguatkan kelembagaan sektor kehutanan, namun hingga saat ini, posisinya masih belum menjadi penting bagi pemerintah, khususnya Kementerian Kehutanan. Ada begitu banyak permasalahan dalam politik kehutanan. Mulai dari kehutanan yang hanya menjadi obyek politik, ketiadaan pengakuan terhadap masyarakat adat, keberadaan desa di dalam kawasan hutan, benturan kebijakan dengan sektor lain, dan tidak tuntasnya urusan tenurial negeri ini. KKI V sepertinya ingin menjadi wadah untuk mengurai beragam permasalahan tersebut. Kongres Kehutanan Indonesia V rencananya akan dilaksanakan pada 22-24 November 2011 di Manggala Wana Bhakti, Jakarta. Bisa jadi ratusan orang dari beragam wilayah Indonesia akan hadir. Dari kalangan masyarakat (adat), organisasi non pemerintah, akademisi, pengusaha dan pemerintah daerah. Sebuah pertanyaan sederhana, apakah kemudian KKI V kali ini akan menghasilkan sebuah perubahan? Sektor Kehutanan merupakan sektor minoritas dalam indikator pembangunan. Walaupun menguasai kawasan lebih dari 60% daratan negeri ini, namun sektor Kehutanan berada di dalam Pertanian dalam arti luas, pada beragam indikator ekonomi pembangunan negeri ini. Ketika kemudian, beragam indikator dan angka-angka statistik disajikan, menjadi sukar untuk membaca seberapa besar pengaruh sektor kehutanan terhadap pembangunan yang sedang berlangsung. [caption id="attachment_136972" align="alignleft" width="300" caption="Konveyor Batubara di Hutan Mangrove di dalam Tahura Bukit Soeharto"][/caption] Sektor Kehutanan juga merupakan benteng terhadap keberlanjutan layanan alam. Namun kemudian kawasan perlindungan (beberapa bagian kawasan ini disebut kawasan konservasi dan sebagian disebut kawasan lindung oleh peraturan perundang-undangan), sering kali dijadikan obyek penghasil uang, bukan sebagai penopang kehidupan dan keberlanjutan layanan alam. Kawasan konservasi hanya dipandang berhasil apabila mampu menghasilkan jumlah kunjungan maksimal dan aliran uang yang masuk, tak pernah dilihat keberhasilannya dari peningkatan populasi puspa-satwa yang ada di dalam kawasan, dan seberapa besar perbaikan kualitas kawasan. Pada kawasan hutan produksi dan hutan lindung, saat ini sangat kental pertarungan antara kehutanan dengan pertambangan dan perkebunan besar. Alih fungsi dan pinjam pakai kawasan masih terus berlanjut, bahkan pada kawasan hutan lindung. Perlahan namun pasti, kawasan hutan sedang dihancurkan oleh pemerintah, yang hari ini memanfaatkan kekuasaan untuk memperkuat pundi-pundi kelompoknya. Kelanggengan kekuasaan sangat ditopang dengan banyaknya perijinan yang menghancurkan ekologi. Kongres Kehutanan Indonesia IV pada tahun 2006 sebenarnya telah menyadari perlunya posisi politik dan kebijakan yang tegas dan jelas untuk kehutanan Indonesia. Sistem kehutanan harus dibangun kembali dan oleh karenanya secara khusus KKI IV telah menghasilkan deklarasi yang bersisi Kesepahaman Kehutanan Indonesia (Indonesia Forestry Accord). Yang kemudian, masih belum terlihat sebuah perubahan mendasar di dalam politik kehutanan negeri ini. [caption id="attachment_136978" align="alignright" width="300" caption="Satu Bibit Ditanam, Seribu Pohon Ditumbangkan"][/caption] Lalu, apakah KKI V akan menghasilkan sebuah perubahan mendasar dari politik kehutanan? Seperti biasanya sebuah pertemuan yang dihadiri ratusan kepala, yang terlaksana dalam waktu singkat, maka menjadi sulit untuk menemukan satu kebersamaan pikiran dan memahami ulang rangkaian sejarah kehutanan negeri ini. Kepentingan dan pilihan keyakinan yang berbeda, menjadikan KKI hanya menjadi sebuah ajang kompromi semu. Selebihnya, akan kembali pada kebiasaan sebelumnya. Kelompok non pemerintah melakukan kritik, pengusaha sibuk mengeluarkan kayu, pemerintah menjadi ribut dengan urusan penghasilan, dan kelompok akademisi disibukkan dengan proyek-proyek sehingga melupakan membangun pengetahuan baru kehutanan. KKI tak lebih dari sebuah reuni dan mempertemukan kerinduan. Dalam gedung yang berhawa sejuk, menjadi tak mudah untuk menghasilkan sebuah perubahan mendasar. (r)evolusi kelola alam hanya akan terjadi bilamana kesadaran warga menjadi masif. Hutan dan Kehutanan akan tetap menjadi obyek perasan kekuasaan. Tak akan terbangun yang selalu disebut pengelolaan hutan berkelanjutan, ekolabel, dan beragam sebutan lain yang serupa. Karena kayu, batubara dan mineral, serta lahan subur di tanah gambut, masih merupakan sumber utama penghasilan dari pelayan publik yang berselingkuh dengan pemilik modal. Haruskah menantikan perubahan dari ruang pertemuan? Lebih baik mulai membongkar ulang isi kepala para rimbawan muda negeri ini, yang haus akan pengetahuan baru kehutanan, yang ingin sebuah perubahan itu terjadi, dan untuk kebaikan bagi sesama di negeri ini.  [af]

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun