Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Wanita Bekerja: Dilema

22 Desember 2009   15:05 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:49 481 0
Membaca tulisan teman saya tentang takdir seorang wanita untuk menjadi pengurus internal keluarga sementara seorang pria sebagai penyeimbangnya adalah pengurus external yang harus mencari nafkah untuk keluarga, saya menjadi tertarik kembali untuk mengulasnya kembali menjadi versi saya, menurut saya, dari sisi seorang wanita yang harus bekerja.

Pertama kali saya bertemu kembali dengannya setelah 20 tahun menghilang-, saya menyayangkan dan bertanya-tanya, mengapa sebagai seorang wanita yang cantik dan smart, ia memilih untuk menjadi seorang ibu rumahtangga daripada menjadi seorang wanita karir di perusahaan multinasional dengan segala talentanya.Fiuuhhh…dengan modal bahasa English yg jago setelah melanglang buana dan aneka beasiswa di LN yang diterimanya, saya yakin tak akan ada perusahaan asing yang bisa memandang sebelah mata padanya. Tapi kenapa dia melakukannya ? Why ?

Mungkin wajar bila kita beranggapan bahwa dengan gaji poundsterling suaminya she has gotten everything she needs for her family welfare. She feels secure for her family financial future. Tapi bagaimana dengan kebutuhan untuk mengeksplorasi diri, menambah wawasan dan pengakuan kesamaan gender yang selama ini didengungkan kaum feminis yang giat bekerja dan memang sukses di karir?

Saya menjadi teringat lagi masa-masa awal pernikahan saya. Masa ketika saya muda dan masih sangat berambisi untuk mencari sekolah di LN. Panggilan tes akhir suatu beasiswa yang dilakukan secara khusus untuk memanggil saya kembali karena tidak memenuhi panggilan sebelumnya, harus saya tolak dengan lidah tercekat, hati berontak dan akhirnya tetap saya tolak dengan alasan : keluarga…. Emosi dan ambisi harus berperang melawan logika : mau dikemanakan suami yang sudah pasti menolak dengan tegas untuk ikut ke LN – melepas pekerjaan yang menjadi harga dirinya dan ikut menumpang kepada istri?- Meskipun berat, saya bias memaklumi dan memutuskan untuk kembali kepada kodrat saya sebagai seorang perempuan.

Hal itu pula yang ditanyakan big boss saya ketika itu … wanita….dan saya teringat pula akan komentarnya : bahwa memang wanita harus memilih.

Bekerja buat saya pada awalnya, ketika lulus sekolah, adalah suatu kewajiban. Kewajiban untuk menunjukkan hasil dan bakti kepada orang tua yang telah menyekolahkan saya dengan susah payah dan gali lubang tutup lubang (kami 7 bersaudara dengan ayah saya adalah seorang PNS dan ibu adalah wanita Rumah tangga). Puas sekali hati ini ketika menerima gaji pertama dan mempersembahkannya buat keluarga. Bekerja adalah tuntutan setelah sekolah untuk memperoleh pengakuan dari masyarakat. Tak enak rasanya kalau saya disebut pengangguran. Sebagai fresh graduate, saya sangat bersemangat untuk menambah ilmu dan wawasan sebanyak-banyaknya. Uang bukanlah target. Yang penting adalah ilmu dan bias melakukan aktualisasi diri dengan segenap kemampuan yang saya punya. Saat itu saya bersemangat dan percaya atau tidak, sering menjadi karyawan yang datang awal ke kantor.

Semangat itu lambat laun bergeser seiring bertambahnya usia saya, usia rumah tangga, lahirnya anak-anak, naiknya harga bahan pokok, keinginan untuk menikmati kebutuhan tersier yang dulu tak pernah tersentuh. Keinginan untuk memberikan sesuatu yang lebih baik buat anak-anak. Kesempatan untuk melanjutkan sekolah pun hampir lepas dari tangan jika saja saya gagal menegosiasikan tempat belajar yang seharusnya di luar kota menjadi dalam kota. Sebagai keluarga muda yang mandiri, keluarga kami adalah Caturwarga, tanpa bantuan saudara. Bekerja buat saya tetap menjadi kewajiban untuk membantu suami memenuhi kebutuhan keluarga. Selama belum financially secured, tampaknya saya harus terus bekerja. Boleh dikatakan, saya sekarang bermoney oriented. Waktu saya yang terbuang dengan meninggalkan rumah dan indahnya kebersamaan bercengkrama bersama anak – anak, tidak boleh dihargai murah. Hilangnya pendar kebahagiaan seorang anak yang tidak menemukan sang ibu ketika pulang sekolah, seharusnya lebih berharga dari apapun dan tidak sepadan dengan nilai material yang diberikan. Mencari ilmu dan wawasan sudah menjadi masa lalu. Bekerja sekarang adalah mencari nafkah untuk anak-anak dan jaminan masa depan. Mungkin insurance bisa menjawab masalah itu, tapi saya belum menjadi orang yang bisa menyisihkan penghasilan yang sebegitu-begitunya dan dicukup-cukupkan untuk saat ini. Wanita memang pada akhirnya harus kembali ke-3 M : Masak, macak dan manak (memasak, berdandan dan melahirkan). Setinggi-tingginya wanita bersekolah, pada akhirnya ia harus ke dapur juga (dapur = keluarga)

Memilih. Yahhh….memilih.
Prioritas mana yang sebaiknya wanita pilih ? keluarga atau pekerjaan? Bisakah keduanya seimbang tanpa ada yang dikorbankan? Ketika saya harus berdinas dengan mendapatkan sedikit tambahan penghasilan, hal itu harus dilakukan dengan mengorbankan kepentingan keluarga. Mengorbankan waktu untuk menemani anak belajar. Mengorbankan waktu untuk menyiapkan sarapan dan seragam mereka, memandikan mereka …yang biarpun sebentar adalah waktu yang sangat berharga untuk menunjukkan perhatian seorang ibu kepada anaknya. Atau sebaliknya, ketika anak saya panas dan harus meninggalkan suatu kepentingan kantor, berarti mengorbankan citra professional dalam pekerjaan dan segudang tanggapan tentang repotnya mempekerjakan seorang wanita. Tak heran, banyak kantor yang lebih senang memberi persyaratan lelaki atau wanita lajang untuk lowongan kantornya. Masa santai seorang wanita yang baru menikah, melahirkan, menyusui, membesarkan balita, melahirkan lagi, menyusui lagi, dan membesarkan lagi, seolah-olah menjadi masa vakum yang panjang bagi wanita bekerja. Belum lagi jika kemandirian berkeluarga dihadapkan dengan polah pembantu yang kadang tak masuk akal dan membuat wanita mau tak mau menggendong anak ke kantor atau ijin panjaaannggg….hingga waktu yang tidak bisa ditentukan. Dilema itu tak ada dalam kamus pria ….

Mengalami peliknya dilemma wanita bekerja, suatu masa, saya pernah bercita-cita agar anak perempuan saya bisa bersekolah kejuruan, ketrampilan, yang bisa diterapkan dimanapun, tanpa harus terikat norma dan tata tertib kantor. Sepertinya enak juga menjadi bidan yang membuka praktik di rumah, menjadi pengusaha cake and bakery, guru atau pekerjaan lain dengan waktu dan tempat yang fleksibel, dan bisa dilakukan sambil mengawasi anak2 bermain dan menyambut mereka sepulang dr sekolah. Mungkin itu lebih cocok untuk wanita.

Benarkah pendapat saya ini menurut anda?

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun