Ia pun melepaskan tangisnya dengan terisak-isak. Sejumlah pedagang lainnya yang menjadi rekan kerjanya sejak puluhan tahun di Pasar Sukaramai hanya terdiam, sepertinya ikut meratapi nasib yang juga mereka alami. Sejak salah satu pasar tradisional di Kota Medan itu terbakar, Minggu (17/10) lalu, semua usaha mereka memang benar-benar tak bersisa lagi.
Suasana ribut dari suara tawar-menawar orang-orang berbelanja yang menjadi khas pasar tradisional, tak mampu menutupi suasana haru saat itu. Para pedagang yang menjadi korban kebakaran itupun berkeluh kesah kepada saya bagaimana keadaan mereka saat ini, terutama sejumlah ibu-ibu yang selama ini telah berusaha menahan beratnya hidup menghadapi musibah ini.
“Mau makan pakai apa pun sudah gak tahu lagi. Sekarang benar-benar gak ada pendapatan lagi. Dana keluar juga untuk kebutuhan sehari-hari. Terpaksa pinjam-pinjam la kita,” sambung perempuan berjilbab asal Padang Pariaman itu setelah tangisnya mulai agak mereda.
Hayati sendiri sudah puluhan tahun berjualan kain di Pasar Sukaramai ini. Bahkan, sejak pasar ini dulunya masih semrawut dengan bangunan seadanya, hingga sekarang setelah dibangun menjadi permanen. Bersama suaminya, perempuan beranak empat itu membangun usahanya mulai dari nol.
Dulunya, ia bisa mendapatkan hasil penjualan bersih sebesar Rp 300 ribu per hari. Namun, sekarang semuanya musnah gara-gara dilalap si jago merah. Hayati mengalami kerugian lebih dari Rp 100 juta akibat musibah kebakaran itu.
Sekarang, bersama sebagian besar pedagang lainnya, Hayati hanya bisa menunggu sembari berdoa agar Pemerintah Kota Medan segera membangun kembali Pasar Sukaramai. Setidaknya, Pemko Medan secepatnya memberikan tempat penampungan sebagai lokasi sementara bagi mereka untuk berdagang.