Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Lupa Menjadi Manusia

8 Oktober 2014   18:56 Diperbarui: 17 Juni 2015   21:53 41 0
Teringat ketika aku pertama kali masuk warung kopi, ketika itu aku masih kelas tiga Aliyah. Betapa sungkan dan nggak karuan malu disaat itu. aku bertemu ustadz-ustadzku yang lagi menikmati seruputan kopi dan hisapan ududnya. " Wah, lako' ada ustadz rek, mati aku", batinku. gumamku saat itu sangatlah mendasar, karena memang pada saat itu, beliau adalah ustadz yang mengajar ngaji di kelasku. " Haduh, pasti dimarahin nih !". Dan semakin menjadi-jadi ketika belaiu mengetahuiku lantas memanggilku,

" Loh, Ade !!! Ngopi tah ?, tanya beliau.

sambil membungkukkan badan, aku menjawab, "nggeh tadz".

Bayangan-bayangan akan dimarahi dan disuruh balik ke pondok sudah sampai di otakku.

"Oh, mau ngopi tho, oh yo wes, monggo-monggo".

bayangan-bayangan akan dimarahi seolah langsung terbang, bersamaan dengan keluarnya asap yang mengepul dari mulut ustadzku. wussssssssssssss ........

Aku semakin tak mengerti dengan apa yang dikatakan ustadzku tadi. sebuah sindiran atau benar-benar memang mempersilahkan ?. kupesan kopi dan mulai kunyalakan batang ududku. aku masih memikirkan perkataan ustadzku tadi. kenapa sangat berbeda dengan ustadz yang lain. kalau biasanya ustadz yang lain pasti langsung disuruh balik, kalau nggak gitu ya dimarahin di tempat. kulihat beliau, begitu asyiknya beliau bergurau dengan teman-temannya. Begitu asyiknya aku melihat beliau sampai aku nggak tahu kalau temanku sudah duduk di sampingku.

"woy, nglamun ae rek ! ..." sapa temanku.

"eh, nggak rek, iki lho aku lagi mikirno sesuatu..." timpalku.

"gayamu cah ! mikir segala, mikir cewek yo ? tanyanya.

"ndasmu ! ora iki loh cah. baru pertama ini aku ketemu Ustadz di warung, nggak disuruh balik, malah dipersilahkan. biuh ...."

"oh, ustaz iku tho ( sambil menunjuk kearah ustadzku). iya emang, ustadz itu beda dengan yang lain. kalau yang lain masih membawa titel ustadznya di warung, kalo dia engga'. di warung ya di warung, bukan di pondok. orangnya gitu emang", jawabnya. "eh maksudmu ?" tanyaku. " gini loh de, orang kalau sudah dapat titel, kadang-kadang mereka begitu bangga dengan itu. sampai-sampai lupa tempat. g ruh nggon. di warung masih dibawa, di pasar masih dibawa. orang sekarang itu kalau sudah bertitel enggan disamakan sama orang yang punya titel. mentang-mentang jadi pejabat, kemana-mana pake' bodygard. mentang-mentang kiai, tangannya harus diciumi. mereka lupa kalau mereka itu menusia. mereka masih memakai sistem kuno, yang bertitel yang di atas, yang ngga' punya, di bawah saja. lihat tuh ustadzmu, dia copot titel ustadznya, karena memang dia tahu disini bukan tempatnya. ketika di sini, di warung kopi, dia anggap semuanya sama. ngga' ada namanya ustadz, ngga' ada namanya murid yang ada hanya teman ngopi."

"oh gitu ya" jawabku.

"andai saja semua pejabat di negeriku ini semua seperti ustadzku, pasti negeri ini akan lebih hebat dari Kerajaan majapahit, hahahahahahhahahaahahaha .... "guyonku.

suasana ngopi waktu itu begitu syarat akan kehangatan berbagi antar sesama bagiku. bukan karena dia itu menjadi itu, karena saling berbagi cinta antar sesama, sesama manusia.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun