Lepas dari soal suami-suami kedua nenek tersebut sebagai janda pahlawan, yang seharusnya mendapat penghormatan yang wajar dari negara in casu Perum Pegadaian. Dari sudut hukum pidana, Polisi penyidik dan Jaksa Penuntut Umum yang menerima laporan dari Perum Pegadaian dan mengangkat serta memproses kasus ini menjadi kasus pidana, kebablasan dansangat tidak bijak.
Tindak pidana yang disangkakan/didakwakan adalah Pasal 167 (1) KUHP dan Pasal 12 (1) jo 36 (4) UU No. 4 Tahun 1992 Tentang Perumahan. Kalau kedua aparat hukum tersebut, dalam memproses dan menangani serta mengngkat kasus tersebut menjadi perkara pidana - tidak karna sesuatu, pastilah keduanya tidak memahami benar tentang konsepsi hukum kedua sumber hukum yang disangkakan/didakwakan mereka. Masih dapat dimaklumi, bukan??
Mestinya kedua aparat penegak hukum tersebut tidak menerima dan memperoses laporan Perum Pegadaian. Alasan pokoknya, karena kasus tersebut bukan kasus pidana, yang bisa diproses melalui perkara pidana.
Pasal 167 (1) KUHP, merumuskan sbb : "Barangsiapa memaksa masuk ke dalam rumah, ruangan atau pekarangan yang tertutup yang dipakai orang lain dengan melawan hukum atau berada disitu dengan melawan hukum, dan atas permintaan yang berhak atau suruhannya tidak pergi dengan segera, diancam dengan pidana penjara paling lama 9 bulan......"
Pasal 12 (1) jo 36 (4) UU No. 4 Tahun 199. Pasal 12 (1) merumuskan "Penghunian rumah oleh bukan pemiliknya hanya sah apabila ada persetujuan atau izin pemilik. Sementara Pasal 36 (4) merumuskan "Setiap orang atau badan dengan sengaja melanggar ketentuan dalam Pasal 12 (1) dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 2 tahun dan/atau denda setinggi-tingginya 20 juta rupiah"
Nyatalah bahwa baik Pasal 167 (1) KUHP maupun Pasal 12 aayat (1) jo 36 ayat (4) UU No. 4 Tahun 1992 tidak mungkin dapat diterapkan pada kasus seperti ini. Kasus dua nenek yang sejak 30 tahun yang lalu bersama suaminya menghuni rumah dinas Perum Pegadaian tersebut, yang setelah suaminya meninggal dunia tidak mengosongkan rumah, yang alasannya masih menunggu proses pembelian rumah tersebut pada negara. Yang diperkuat pula bahwa persoalan ini telah dan sedang berlangsung perkara di Peradilan Tata Usaha Negara, yang sedang menunggu putusan akhir dari MA.
Pasal 167 (1) KUHP maupun Pasal 12 (1) jo 36 (4) UU No. 4/1992 secara konseptual hukumnya diperuntukkan bagi penempatan dan penghunian yang sejak semula melawan hukum. Sementara dalam kasus ini, kedua nenek tersebut sejak awalnya (semula) bersama suaminya menempati rumah tersebut tidak dengan melawan hukum, melainkan sah menurut hukum berdasarkan haknya sebagai pegawai Perum Pegadaian. Ketika janda tidak menyerahkan kembali pada Perum Pegadaian, itu bukan tindak pidana, melainkan persoalan perdata yang bermuatan hukum administrasi negara. Penyelesaianya bukan melalui kepolisian, kejaksaan dan peradilan pidana, melainkan Perum Pegadaian mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri setempat untuk mengosongkan.
Semoga Polisi penyidik dan Kejaksaan Negeri yang mengangkat kasus ini ke peradilan pidana bukan karena faktor x, melainkan hanya karena tidak memahami konsepsi hukum dari kedua sumber hukum yang disangkakan/didakwakn olehnya. Rakyat bisa memaklumi jika karena alasan kurang pemahaman mengenai konsepsi hukumnya. Namun hakim harus bijak dan mengerti betul tentang konsepsi-konsepsi hukum perkara yang sedang diadilinya. Tentu saja harapan kita semua, majelis hakim tidak masuk angin dalam mengadili dan memutus perkara ini.
Jika menggunakan konspsi hukum sebagaimana tersebut di atas, saya yakin hakim akan menjatuhkan vonis pelepasan dari tuntutan hukum (ontslag van alle rechtsvervolging), berdasarkan pertimbangan hukum bahwa perkara ini bukan perkara pidana tetapi perkara perdata. Tetapi bisa saja pembebasan, apabila hakim mempertimbangkan bahwa hakim tidak yakin terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan.
Kita tunggu benarkah analisis hukum tersebut??.