" Saya dari Banjar (pembagian wilayah administratif di Provinsi Bali, beradadi bawah kelurahan atau desa, setingkat dengan Rukun Warga) , mau menagih uang iuran" kata orang tersebut
" ohh baik pak sebentar" Saya berusaha tenang, belum saya masuk kembali ke kamar Orang tersebut menghardik dengan keras
"eh sebentar, jangan menghindar kamu, ini wajib!!"
saya heran apa maksud perkataan orang itu. Saya bukan menghindar, saya masuk kembali ke dalam kamar karena bermaksud mengambil kartu iuran dan dompet. tapi saya tidak hiraukan perkataan orang itu, saya masuk dan membawa kartu iuran banjar itu. Saya berikan kartu itu pada dia, tanpa ba bi bu orang itu kembali membentak " kenapa kamu tidak bayar berapa bulan??, totalnya 42.000 bayar dulu!!!" hardikan orang itu jelas terdengar dengan tetangga kost saya yang lain,saya coba jelaskan bahwa saya ini baru pulang dari jakarta selama beberapa bulan, tapi orang itu tak mau mengerti, saya akhirnya acuhkan orang tersebut. Melihat saya "pasang badan" orang ini (belakangan diketahui sebagai pecalang) segera pergi. Namun Ini bukan kejadian yang pertama.
Kejadian tak mengenakan pertama terjadi pada bulan mei 2013. Saat itu saya baru kali pertama ditugaskan di Bali oleh perusahaan saya. Saat itu saya sedang bertugas, yang tinggal di kost hanya istri dan anak saya. Saat bertugas di lapangan, istri saya menelpon setengah terisak-isak. dia meminta saya segera pulang. Saya segera pulang saat itu, di tempat kost dia bercerita bahwa tadi ada pecalang di dampingi polisi berseragam datang, menggedor pintu dan berlaku tidak santun. sejumlah orang-orang itu menanyakan KIPEM (Kartu Identitas Penduduk Musiman) pada istri saya. Istri saya yang tidak tahu menahu soal urusan administrasi kependudukan ini, ya dapat dimaklumi dia terheran-heran, karena tindakan petugas-petugas ini tidak santun. Istri saya bertanya pada petugas-petugas ini KIPEM itu apa, karena baru 3 hari tinggal di Denpasar. Lalu orang itu meminta sejumlah uang karena istri saya tidak memiliki KIPEM yang mereka maksud. Jelas istri saya tidak memberikan uang yang diminta, karena saya mendidiki keluarga saya untuk tidak melakukan "suap" apapun alasannya terlebih pada petugas.
Sehabis istri saya bercerita,terus terang saya sangat marah dan tidak terima, saya langsung menuju kantor desa setempat. Saya mencari kepala desa , syukurlah saya dapat bertemu dengan kepala desa. Saya diterima baik dan saya jelaskan duduk permasalahannya. Saya juga sampaikan saya tidak terima dengan tindakan tidak santun petugas-petugas tersebut, karena saya merasa keluarga saya diperlakukan seperti penduduk liar atau teroris begitu. Tapi karena kepala desa sudah meminta maaf ,saya tidak mempermasalahkan lagi. Semenjak kejadian itu saya langsung "angkat kaki" dari tempat kost tersebut. Setahun lebih berlalu, sampai terulang pada kejadian kedua.
Saya sangat sesalkan kejadian tersebut dan disini saya akan mempertanyakan hal tersebut pada pihak-pihak berwenang di Bali, karena ;
pertama, Saya warga negara Indonesia Sah dan memiliki KTP resmi (bukan aspal). KTP saya E-KTP yang notabene seharusnya berlaku diseluruh Indonesia.
Kedua, Di lingkungan tempat asal saya, tidak pernah membeda-bedakan antara pendatang-pendatang dan penduduk asli. mereka pendatang baru hanya dikenakan wajib lapor pada RT setempat. Setau saya Bali masih wilayah NKRI bukan?
Ketiga, ini tahun 2014, mengapa terkesan urusan yang menyerempet SARA ini masih saja diulang. Saya pribadi banyak berteman baik dengan teman-teman asal Bali. Bahkan beberapa tahun lalu , saya terlibat dalam advokasi teman-teman hindu di Jawa Barat yang Pura nya "diganggu" FPI.
Keempat,Boleh menarik sejumlah iuran , Tapi saya minta, gunakan cara santun dan sopan, karena kami bukan penjahat apalagi teroris. Tidak usahlah membentak -bentak. Orang Bali santun dan dikenal berbudi luhur.
Mudah-mudahan kejadian ini tidak terulang kembali. Dan kejadian ini tidak merubah sedikitpun perasaan Cinta saya pada Bali..