Dalam Kitab Suci dan sejumlah buku, kurban merupakan kisah dramatis perintah Tuhan kepada seorang ayah bernama Ibrahim untuk menyembelih putra tercintanya, Ismail, yang kemudian kepala itu tidak tersembelih, melainkan diganti dengan kepala kambing yang sehat dan besar. Kisah itu sebenarnya tidak hanya berhenti sebatas demikian. Lanjutan dari kisah itu adalah pernyataan Allah “kadzalika najzi al-muhsinin”. Dalam arti sempit, pernyataan itu bisa diartikan “demikian kami balas orang-orang yang berbuat baik”.
Kisah Ibrahim ini dilanjutkan dengan suatu anugerah Allah kepada Ibrahim dengan memberikan berkah seorang putra. Ini pernyataan yang sangat jelas ditegaskan oleh Allah sebagai kiasan bahwa, kebaikan adalah induk dari suatu keberkahan. Ia juga bentuk pemaduan “pengkurbanan” dan “pengorbanan”.
Pengkurbanan
Banyak orang mengira kurban hanya memiliki makna “dhahiyyah”, yang artinya sepadan dengan hewan sembelihan. Padahal tidak hanya itu. Kurban adalah suatu bentuk takwa manusia dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. “Pengkurbanan” ini bisa dilakukan dalam banyak hal. Terutama dengan mengerti dan menindaklanjuti hakikat ubudiah yang dilakukan.
Misalnya, seseorang yang salat tidak dikatakan salat, selama masih melakukan tindakan korupsi, memanipulasi Al-Quran, memakai narkoba, ugal-ugalan di jalan raya dan seterusnya. Karena hakikat dari salat adalah mencegah kemungkaran. Ketika kemungkaran masih dilakukan dan merajalela, tentu pelaksana ubudiah tersebut tidak bisa dikatakan pengkurbanan atau bentuk takarrub kepada Allah.
Maka perlu rasanya merubah cara pandang ibadah yang selama ini dilakukan sebatas ritual. Dalam hal ini, maka perlu kiranya meniru kisah “kurban” Ibrahim yang dilakukannya dengan Ismail. Ibrahim adalah sosok ayah yang toleran dan diplomatis secara sekaligus. Karena walaupun ia merasa apa yang dilihatnya dalam mimpi adalah suatu perintah Tuhan, ia tidak secara egois memaksa Ismail untuk segera melakukan apa yang diyakininya itu. Tujuan Ibrahim tentu agar Ismail menyadari terlebih dahulu motivasi pemenuhan perintah tersebut, yakni pencarian keridhaan dan bentuk ketakwaan.
Terkait ini, Ibrahim memberi contoh kepada kita bahwa, bentuk “takarrub” adalah juga menjaga diri dari bisikan-bisikan “syaithaniah” yang sering kali membuat niat “saleh” berubah seratus delapan puluh derajat pada hal-hal yang “salah”.
Karenanya bukan hal aneh jika seorang pejabat yang di awal pengangkatan, sangat bersemangat untuk menjadi seorang hakim yang tegas, ingin menghilangkan korupsi, ingin menciptakan masyarakat yang nyaman, dan menegakkan hukum secara adil, tiba-tiba ikutkoruptor. Hal ini bisa jadi karena adanya bisikan-bisikan “syaithaniah” yang demikian kuat di dalam dirinya.
Bisikan-bisikan syaithaniah ini tentu sangat bisa ditaklukkan dengan mengoptimalkan “pengkurbanan” diri. Pengkurbanan yang sangat jauh berbeda dari pengawasan. Spirit pengkurbanan ini terjadi, karena seorang hamba berusaha mendekatkan diri kepada Allah dengan kesadaran diri, bukan karena adanya suatu tekanan. Sementara ubudiah yang dimotivasi pengawasan, tentulah hanya maksimal jika kesadarannya maksimal, tetapi jika telah hilang rasa terawasi dan merasa paling tinggi, ia akan berubah secara drastis.
Tetapi barangkali ubudiah yang selama ini dilakukan banyak orang, adalah ubudiah yang dimotivasi perasaan diawasi. Sehingga ketika merasa tidak ada pengawasan, semuanya menjadi lepas kontrol. Maka perlu setiap orang memupuk spirit “kurban” untuk dekat dengan Allah. Karena “kurban” adalah bagian lain dari rasa cinta dan ketulusan.
Pengorbanan Diri
Jika “pengkurbanan” sudah terpupuk, maka fase berikutnya yang bisa dilakukan untuk mengobati luka-luka bangsa adalah pengorbanan diri; bertindak untuk kebahagiaan diri dan orang lain.
Karena cerita kurban tidak hanya dilakukan Ibrahim, kurban yang dilakukan Qabil dan Habil pun perlu dijadikan rujukan. Bahwa pada suatu ketika Allah memerintahkan kedua anak Adam tersebut untuk berkurban. Tetapi Allah hanya menerima kurban Habil yang berupa hewan ternak gemuk yang diberikan secara tulus.
Kisah ini sebenarnya hampir sama dengan kisah Ibrahim, tetapi kisah kurban dua anak Adam ini bisa lebih dilihat dari spirit pengorbanan diri Habil. Bagaimana seorang Habil, memberikan hewan ternaknya yang bagus-bagus untuk diserahkan. Sementara Qabil hanya memberikan rumput yang kurang berkualitas. Sehingga tidak salah jika Allah kemudian menerima kurban Habil yang lebih tulus dan berkualitas.
Ending dari cerita ini, Habil terbunuh oleh Qabil. Ini pengorbanan seorang Habil bagi kita semua, agar kita semua yakin bahwa berkurban adalah juga berkorban. Berkurban adalah memberikan hal-hal terbaik yang kita miliki untuk kebutuhan publik. Bahkan juga mengorbankan diri—seperti kisah seorang Habil, yang mengorbankan dirinya sebagai amsal bagi kaum setelahnya, bahwa setiap kerakusan dan kekikiran adalah awal mula dari bencana publik.
Bisa dilihat realitanya, orang-orang yang tersangkut kasus korupsi tiada lain adalah mereka yang juga tersangkut rasa rakus. Sehingga mengorbankan hak-hak orang lain, dan tidak “mengurbankan” kesalehan dalam dirinya.
Spirit “kurban” dan “korban” ini, bisa dicontoh oleh seorang pemimpin, tokoh masyarakat, orang-orang berlebih untuk menyembuhkan luka-luka bangsa. Kurban yang seiring dengan pengorbanan. Ketika takarrub dengan Allah telah dilakukan, maka berikutnya adalah mengorbankan diri untuk mengurusi urusan-urusan publik. Mengurbankan kesalehan sekaligus mengorbankan kerakusan.
Jika dua hal ini sudah bisa dilakukan, maka tidakakan ada lagi orang yang demikian rajin melaksanakan shalat, tetapi di sisi lain tidak mau bersedekah kepada fakir miskin. Atau tidak akan ada lagi seseorang yang dimanahkan mengurus departemen agama, tetapi malah mengkorupsi Al-Quran.
Bisa dibayangkan, ketika semua berjalan demikian baik. Jika seorang muslim tidak berbuat riba, tidak korupsi, tentu saja keberkahan Allah akan turun sebagai suatu anugerah yang berlimpah. Wallahu A’lam.