Sebenarnya sih jangan dulu ngejudge para pedofil itu sebagai predator, tolong dibedakan. Menurut Dono Baswordono yang punya skills terkait psikologi dan seksiologi menuliskan tentang pedofil begitu panjang, sehingga saya ambil point-point utamanya aja, yaitu bahwa tidak semua penderita pedofil itu adalah predator.
Jadi, kendatipun para pedofil itu orientasi seksnya adalah kepada anak-anak, namun tidak semua penderita pedofil itu bisa atau berani menyalurkan hasratnya, sebab apa? sebab beberapa dari mereka masih mampu menahan hasrat seks dengan nalarnya yaitu bahwa tindakan cabul tersebut adalah pelanggaran hukum. Namun sialnya, ada juga beberapa penderita pedofil yang mungkin karena gak bisa memanage hasratnya sehingga dia berubah menjadi pedofil pemangsa anak-anak yang dikenal dengan sebutan predator. Jreeeenggg !!
Lalu saya baca ini dan juga ini yang ditulis oleh mas Donnybu yang mau-mauan baik mengirimkan tulisannya kepada saya, sehingga wawasan saya menjadi nambah. Yaitu terkait media online, sebuah cluster informasi terbesar yang kerap dijadikan jalur penting bagi para predator guna mencari mangsa. Benarkah?
Mas Donnybu menekankan betapa pentingnya peran orang tua terhadap keamanan anak, memberikan waktu luang untuk mengawasi mereka ketika berselancar di internet, membimbing mereka untuk tidak mengumbar informasi pribadi secara detail hingga telanjang bulat di sosial media, karena hal seperti itu justru membukakan pintu bagi para predator untuk masuk. Ah, semoga kesimpulan saya tidak salah mengenai tulisannya si Mas yang baik hati itu.
Saya juga mengapresiasi dengan baik kebijakan pemerintah khususnya Kemkominfo yang memblokir situs-situs yang dianggapnya mengandung konten porno. Saya menganggapnya, pertama, sebagai bentuk bantuan kepada para orang tua yang kesibukannya sudah terlalu over sampai lupa jalan pulang ke rumah, sehingga tidak memiliki waktu cukup untuk mengawasi anak-anaknya ketika mereka berinteraksi dengan internet dan situs-situs porno.
Kedua, jangan juga dilupakan, bahwa kasus pencabulan, pelecehan dan pemerkosaan kerap dilakukan oleh orang-orang terdekat korban yang tidak perlu menggali informasi dari internet, karena para predator tersebut memang nyatanya sudah mengenal dekat para korban.
Jadi yang perlu disikapi disini adalah tentang sebuah hulu, tentang kenapa para predator itu tidak bisa memanage hasrat seksualnya, seperti yang saya singgung di awal tulisan, bahwa semua orang bisa saja menderita pedofil, semua orang bisa saja menjadi pelaku pelecehan dan pemerkosaan, namun hanya predator saja yang gagal menahan hasratnya.
Tidak bisa dipungkiri, salah satu penyabab gagalnya para predator dan para bedebah-bedabah lainnya itu sulit menahan hasrat seksnya adalah karena kerap termotivasi oleh sebab seringnya melihat video-video porno yang dulu begitu bebas bersliweran di internet, dan dengan alasan tersebut Kemkominfo mengambil tindakan untuk menutup sumbernya, meminimalisir dengan cara memblokir situs-situs yang mengandung konten porno tersebut.
Lebih luas lagi saya bicara, eng.. ing.. eng.. yaitu tentang pemblokiran situs yang dianggap mengandung konten porno oleh tim Trust+, sebut saja Mawar, eh maksud saya Vimeo, yang kemarin begitu ramai diwacanakan di sosial media yang mengerucut menjadi pembullyan kepada sang Menteri Bp. Tifatul Sembiring.
Kritikan, baik yang membangun hingga tidak mendasar atau hujatan kepada Bapak Menteri berkicau deras di twitter, anehnya hujatan dari sebagian kritikus itu menjurus sampai ke salah satu partai ternama di Indonesia. Aneh toh, aneh memang, ekspresi yang terlalu berlebihan. Saya teringat kata Om Warm:
"Kadang saya penasaran, seberapa pintar sih orang yang bilang menteri itu bodoh?"
Saya sih merasa para kritikus Menteri itu pintar, pintar menurut dirinya sendiri lho, namun perlu sesekali mereka itu piknik ke desa-desa, melihat kebahagiaan hidup masyarakat pelosok yang tidak pernah bersinggungan dengan internet.