Naiklah perahu dari Medokan Semampir dan melajulah mengikuti jalur Kalimas. Anda akan menemui banyak “jeram bokong”, lebih banyak dari yang tersaji di Kali Pekalen. Apalagi bila Anda melakukan penyisiran pagi dan petang hari, saat banyak warga sekitar kali dan pengguna jalan mandi.
Sebagai sebuah fenomena, tentu “jeram bokong” ala Kalimas menarik diketahui. Paling tidak kita jadi tahu, ternyata di jantung Surabaya yang disebut metropolis, “jeram bokong” bisa ditemui dengan mudahnya. Kita jadi tahu, begitu banyak warga yang tidak memiliki kamar mandi, apalagi jamban sendiri yang penuh privasi. Mandi di kali tentu bukan untuk pameran, kan? Oke, sebagai sebuah fenomena, banyak yang bisa dikaji dari “jeram bokong” asli Surabaya ini. Namun sebagai sajian wisata, apa tega? Sepertinya, inilah salah satu “jeram” yang harus dilalui Pemkot Surabaya dalam menggapai mimpinya, menjadikan Kalimas sebagai salah satu objek wisata.
Sepertinya, munculnya “jeram-jeram bokong” di Kalimas bukan sebuah kebetulan. Ia juga bukan sebuah eksperimen untuk menikmati “outdoor shower” atau sejenisnya. Ia muncul lebih karena keterpaksaan, lahir dari minimnya pilihan. Coba saya ajak Anda untuk melongok sejumlah “jeram bokong” di sepanjang Kalimas.
Di pinggir Jl. Ngagel, menjelang pusat besi tua, bisa disebut “jeram bokong” permanen. Pasalnya, di titik yang itu-itu saja, tiap pagi dan sore, para abang becak mandi. Kadang peserta ketambahan penjual buah keliling atau orang lain yang saat itu kegerahan. Sepertinya mereka malah sudah menjelma menjadi sebuah komunitas. Bertegur sapa, berbagi kabar. Akrab, tanpa jarak, tanpa busana. Meski sepertinya sudah terbiasa, namun pasti ada rasa terpaksa untuk mandi di sana, di antara keruhnya air dan kelebat mata pengendara. Setelah narik becak atau lelah nge-pool tanpa mendapat penumpang, tentu mandi menjadi keharusan. Pulang ke rumah? Jauh dan tidak efektif. Jalan sedikit menuju Novotel? Mahal, bo! Kalimas pun menjadi tempat mandi paling masuk akal. Makbyur, segar.
Melaju lagi lebih ke utara, kita akan sampai ke bagian Kalimas yang menjadi batas alami Pasar Keputran. Kini, saat para pedagang menyerbu pula area Jl. Irian Barat, sepotong wilayah Kalimas seperti terbelit dua area pasar. Di sana, di sejumlah titik, outdoor shower gampang dijumpai. Jadwalnya tetap sore dan pagi, namun cukup banyak pula yang melakukannya siang hari. Awan kentang-kentang, mbecak akeh muatan, yo ngringet, rek! Mandi di pasar? Sempit, dan pasti pesing. Mandi di rumah? Belum tentu ada toilet juga. Pinggirkan becak, rapikan barang dagangan, lepas pakaian, byur! Segar. Gratis. Dan kalau ada “si kuning berenang” nyasar, tinggal dihalau. Buat apa dipikirkan? Tinggal byar-byur, mandi pun usai.
Melaju kian dekat ke muara, kita akan melewati wilayah Peneleh, Genteng Kali, hingga Sulung. Di tepi kiri-kanan sungai, WC-WC helikopter bertebaran, juga kamar mandi tanpa dinding lengkap di keempat sisi. Karena “benteng” dibangun untuk menghindari mata-mata nakal dari jalan raya, maka “jeram bokong” terlihat jelas dari arah sungai.
Percaya atau tidak, seorang Ketua RW pernah mengeluh ke tingkat kelurahan saat sebagian WC dan kamar mandi “milik” warganya di tepi sungai, ditertibkan Satpol PP. “Mereka sungguh tak punya WC dan kamar mandi, bagaimana harus buang hajat dan membersihkan badan bila kamar mandinya terus menerus ditertibkan?” keluhnya. Dan saudara, ini bukan fiksi belaka.
Makin ke muara, “jeram bokong” kian terbuka. Sungai tersembunyi di balik bangunan-bangunan tua, “jeram bokong” tak mudah diintai dari jalan raya. Namun percayalah, sungai boleh tercemar, namun “jeram bokong” tetap terpelihara. Inikah item wisata andalan kita? Ah, yang bener saja! (*)