Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan Pilihan

Begal Motor Bikin Resah...

12 Maret 2014   21:56 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:00 63 0
AKSI penjahat atau bandit-bandit jalanan (begal) semakin menjadi-jadi. Para pelaku seenak udelnya, main tembak dan main bacok kepada para korbannya.  Kasus yang masih baru dialami Tony (23). Motornya dirampas kawanan perampok di Jalan Sultan Agung, Setiabudi, Jakarta Selatan. Tak hanya kehilangan kendaraan, Tony menderita luka di lengan kanan akibat sabetan golok.

Pelakunya 8 orang, menggunakan 4 motor. Bersenjata golok, pelaku menyuruh korban menyerahkan motornya.  Tak hanya di kawasan Setiabudi, pengeroyokan oleh sejumlah pelaku bersepeda motor juga terjadi di kawasan Cilandak, Jakarta Selatan. Peristiwa tersebut terjadi tepatnya di depan Terogong Residence, Cilandak Barat Rabu (12/3) sekitar pukul 01.30 WIB.

Tiga pria mengalami luka-luka, setelah dikeroyok 8 pelaku bersepeda motor. Akibat pengeroyokan tersebut, seorang korban harus dilarikan ke Rumah Sakit Fatmawati dan saat ini dalam kondisi kritis. "Korban wanita telah dibawa ke Rumah Sakit, sementara saksi mata telah di amankan di Polsek Cilandak untuk dimintai keterangan," kata Sungkono.

Dari TKP, polisi berhasil menyita berbagai senjata yang digunakan untuk melakukan pengeroyokan. "Kami mengamankan sebuah gir, stik golf dan sebilah kayu," katanya. Belum lagi aksi curanmor yang disertai kekerasan dengan menggunakan senjata api. Entah sudah berapa banyak korbannya, mulai dari rakyat biasa, anggota Polri dan TNI.

Fenomena begal semacam ini tak hanya terjadi di Jakarta saja. Sejumlah kota di Indonesia, juga dilanda aksi kejahatan serupa. Lalu dimana rasa aman itu? Kepada siapa rakyat berlindung, karena jaminan keamanan sudah tidak ada lagi. Pertanyaannya, benarkah kejahatan jalanan ini terorganisir? Siapa dibalik para pelakunya? Jangan-jangan di Jakarta dan kota-kota lainnya sudah ada rental senjata api? Mengapa begitu mudah, senjata api di negeri ini bertebaran? Ada segudang pekerjaan rumah buat Kapolri.

Kapolri Sutarman mengatakan rasio jumlah polisi dengan warga saat ini adalah 1 berbanding 575. Sementara rasio ideal untuk kondisi tertib saat ini menurutnya 1 berbanding 300 khususnya di kota-kota besar. "Saat ini 1 berbanding 575," demikian kata Sutarman di kantor presiden, Jakarta.

Namun jumlah 1 banding 300 pun menurut dia harus diperkecil selisihnya seiring dengan reformasi Kepolisian. Sutarman mencontohkan untuk penanganan demonstrasi, setidaknya untuk pengamanan 10 demonstran perlu lima polisi.

"Itu kan ada naik dan turun. Naik karena penambahan kalau turun karena pensiun," katanya. Sutarman mengaku dalam rangka membangun Kepolisian, dilakukan peningkatan anggaran setiap tahun. Pada tahun 2005 anggaran Polri sekitar Rp 13 triliun. Namun pada tahun 2013 sudah Rp 47 triliun dan pada tahun ini untuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Perubahan bisa hingga Rp 47 triliun.

"Dengan tuntutan masyarakat kita harus meningkatkan kinerja Polri yang semakin professional ke depan untuk memenuhi rasa aman," tambahnya. Pertanyaannya, apakah untuk memberikan jaminan keamanan kepada rakyat, kita harus menunggu rasio ideal itu terpenuhi? Sementara korban yang notabene rakyat tak berdosa, tumbang satu persatu di tangan penjahat?

Sudah saatnya, negara merapatkan barisan. Mengevaluasi kembali masalah keamanan yang semakin menjadi-jadi dan trennya dipastikan akan semakin meningkat.

Mengandalkan Polri untuk memberikan rasa aman, rasanya masih tidak cukup. Sudah saatnya, Polri dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membuat terobosan-terobosan terbaru dan harus bertindak tegas kepada para penjahat, sebelum korban semakin hari semakin berjatuhan.

Kalau dulu, ada rampok bersenjata api dan menelan satu korban saja, seperti kasus Kusni Kasdut, Slamet Gundul dan lain sebagian, negara benar-benar serius menanganinya karena menjadi perhatian publlik. Sekarang, aksi perampokan bersenjata api di siang bolong, kesannya sudah menjadi hal yang biasa.

***

KEGELISAHAN akibat penjahat jalanan, membuat kecemasan masyarakat. Para ibu-ibu rumah tangga, selalu ketar-ketir dengan nasib anak dan suaminya yang keluar rumah.  Begitu uga sebaliknya, suami yang bekerja di kantor juga merasakan kecemasan, terhadap nasib istri dan anak-anaknya yang ada di rumah, lantaran penjahat tak segan-segan main tembak, tanpa mengenal waktu.

Sampai kapan kecemasan dan kegelisahan itu terus terjadi? Seharusnya, Kapolri dan Presiden serta pejabat TNI, merapatkan barisan, mengevalluasi kembali angka kriminalitas. Klau perlu ada desk atau badan kriminal yang tugasnya mengevaluasi aksi-aksi kejahatan jalanan yang semakin gila dan tak mengenal rasa kasihan.

Mengapa untuk kasus terorisme negara membentuk Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, sementara untuk kejahatan jalanan yang jelas-jelas selalu menelan korban jiwa, tidak kita bentuk? Padahal mereka telah menciptakan teror di masyarakat. Mari kita tanyakan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, sebelum kekuasaannya sebagai Presiden RI berakhir....

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun