Hamlet adalah istilah Dusun/Kampung dalam bahasa Inggris. Dalam aksinya, setiap memasuki desa atau dusun, tentara AS selalu membakar gubuk-gubuk. Dengan kata lain, selain memburu tentara VietCong, tentara AS juga membumi hanguskan perkampungan.
Maka mucullah berita besar di AS tentang “kebiadaban” tentara AS yang gemar membakar Hamlet. Kondisi politik AS gonjang-ganjing. Isu besar ini bisa meruntuhkan citra AS di mata dunia karena negara lain bisa menuduhnya sebagi pelanggar HAM.
Seorang reporter surat kabar ternama AS kemudian mempublikasikan hasil investigasinya. Investigasi ini dilakukan pada kasus pembakaran sebuah dusun oleh Pasukan AS yang bernama Divisi Kavaleri Udara Pertama pada Tahun 1967. Hasil investigasi reporter itu menguraikan beberapa pesan berjenjang dari Pusat komando dari Markas Besar sampai ke Prajurit di lapangan :
PERINTAH dari MASKAS BESAR DIVISI KE BRIGADE :
” Tidak Boleh ada lagi satu kejadian pun dusun-dusun yang dibakar”
LALU BRIGADE MENGIRIMKAN PESAN RADIO KE BATALION:
”Jangan membakar dusun-dusun, kecuali kamu benar-benar yakin bahwa Vietcong ada bersama mereka”
LALU BATALION MENGIRIM PESAN RADIO KE KOMANDAN PASUKAN INFRANTRI DI LAPANGAN:
” Jika Kamu pikir ada Vitcong di dusun itu, Bakar saja”
LALU KOMANDAN PASUKAN MEMERINTAHKAN KEPADA TENTARA-TENTARANYA :
” Bakar Dusun itu ”
Apa yang membuat perintah berjenjang atasan dari sering tidak sesuai dengan perintah awal? Banyak kemungkinan terjadi. Pertama, kondisi masing-masing pemberi perintah yang sangat jauh berbeda. Di pusat kekuasaaan seperti anggota dewan, menteri dan para jenderal tidak tahu persis apa yang terjadi di lapangan. Mereka dengan mudah menganalisis sehingga keputusan tidak valid dan tidak mempertimbangkan eksekutor atau pelaksana di lapangan. Wajar di lapangan, para prajurit yang nyawanya di ujung tanduk lebih menyimak perintah membakar dusun dan sulit menerima perintah larangan membakar dan menembak warga.
Kedua, ada kepentingan pihak kelompok atau perorangan yang ingin kepentingannya tetap dijalankan meskipun keputusan dari atasan bertentangan. Dia tidak sepenuhnya menerima keputusan dari atasan sehingga perintah dibuat samar. Dengan kata lain, satu sisi kepentingan pusat terakomodir, sisi lain mereka bisa puas dengan ambisi atau kepentingannya.
Ketiga, tidak memahami dan salah menafsirkan pesan atau instruksi yang diinginkan dari atas atau pusat. Kesalahan ini terus berlanjut dan semakin parah sapai pada tingkat lapangan. Hasilnya, dari larangan berubah 180 derajat menjadi perintah. Sungguh mengerikan.
Keempat, adanya rasa saling tidak percaya antar pemimpin dan bawahan. Ketidakpercayaan kedua pihak kemudian diwujudkan dalam bentuk penyalahgunaan perintah sebagai bentuk protes bawahan pada atasan.
Di dunia politik, pemerintahan dan manajemen, Hamlet Case pasti terjadi, bila komunikasi tidak terbuka, tidak tulus dan sarat kepentingan. Semua pihak berdalih sudah menjalankan kesepakatan, padahal ada udang di balik lempeyek. Semua pihak tak ingin dikalahkan kepentingannya sehingga mencoba memainkan aturan arau perintah untuk mengamankan dan menyelamatkan diri.
Apa komentar dan analisis, Anda?
Salam persahabatan!