Semalam, istrinya, Nita, mengeluh karena uang hasil melawak tak cukup untuk membayar kontrakan. Anak mereka, Ardi, juga sering merasa malu karena teman-temannya mengejek profesi Adit. Namun, Adit tetap mencintai pekerjaannya. Baginya, membuat orang lain tertawa adalah panggilan hidup.
Hari itu, Adit tampil di sebuah pesta kecil. Ia mengenakan jas warna-warni yang mulai lusuh, hidung badut merah, dan sepatu besar yang pernah ia beli dari pasar loak. Seperti biasa, candaan dan aksinya membuat penonton tertawa. Tapi ada sesuatu yang aneh---di tengah-tengah tawanya sendiri, ia merasakan matanya mulai basah.
Saat pertunjukan selesai, seorang pria tua mendekati Adit. Wajah pria itu penuh keriput, namun senyumnya hangat.
"Kamu tahu, Nak," katanya, "tawa itu seperti obat. Kita mungkin tidak menyembuhkan dunia, tapi kita bisa membuatnya terasa lebih ringan, walau hanya sebentar."
Kata-kata pria itu menggema dalam hati Adit. Malamnya, saat ia pulang dan melihat senyum lelah Nita dan Ardi yang tertidur, Adit memutuskan sesuatu. Esok hari, ia akan mencoba hal baru: melawak di tempat yang lebih besar, mencoba peruntungan di sebuah audisi televisi.
Dengan penuh semangat, Adit menulis materi baru semalaman. Namun, takdir berkata lain. Saat perjalanan menuju audisi, Adit mengalami kecelakaan tragis. Dunia hiburan tak sempat mengenalnya lebih jauh, tetapi kenangan tentangnya tetap hidup di hati mereka yang pernah tertawa karena aksinya.
Di pemakaman Adit, seorang anak kecil datang bersama ayahnya. Si anak memegang balon yang diberi Adit di pesta terakhirnya. Ia berkata polos, "Papa, om badut itu bikin aku lupa kalau aku sedih."
Nita tersenyum kecil di tengah air matanya. Adit mungkin telah pergi, tetapi tawanya akan terus dikenang.