Aku berkemas menjaring butiran asa. Meniti pematang yang melintang-lintang serupa garis nasib. Aku menatap bibir tua merapal doa. Lututnya bergetar. Apakah takdir sedang bercengkerama dengan hizib, mantra, dan asma?
Padi permadani hijau engkau hamparkan di kelopak bola mata. Lumpur sawah adonan peradaban yang makin menua. Sosok tua matanya nanar menatap tembok beton, angkuh mengurung cakrawala. Lantas di manakah hizib, mantra dan asma melabuhkan dirinya?
Aku sosok purba pangling memahami dunia. Berteman dengan sisa kenangan yang usang. Gerangan makhluk apakah masa depan kalau masa silam adalah gelap yang dikutuk kelam?
Lumpur, pematang, cangkul adalah masa depan, ucap bibir tua. Suaranya lirih menekan dendam. Menanam adalah suratan bagi siapapun yang menginginkan hidupnya mekar bagai bunga mawar. Aku, engkau atau siapa saja yang masih manusia, sanggupkah bernafas tanpa rindang pohon cemara?
Trenggalek, 12 Juni 2019