Sebelum membahas wacana ini lebih jauh, seseorang pernah menyarankan saya untuk melakukan survey pribadi, paling tidak pada 10 (sepuluh) orang responden yang belum memiliki mobil. Yang harus saya tanyakan: Anda bekerja mapan (berpendapatan minimal 7 juta/bulan), dan anda sudah memiliki rumah, di tabungan anda masih ada uang sebesar 100 Juta, sementara anda lajang. Jika anda dipaksa untuk menggunakan uang tabungan itu, untuk keperluan apakah anda menggunakannya?
Hasilnya, 5 Orang menjawab: Beli Mobil. 3 Orang yang lumayan cerdas dan gaul menjawab: untuk DP kredit Mobil yang Keren. 2 orang menjawab: Untuk Merried.
Atas dasar kecendrungan sosial yang seperti ini lah, Produsen Mobil membaca dan menjawab keinginan pasar. Lihat saja, mobil-mobil kualitas 'kaleng' berharga murah diproduksi. Untuk memenuhi harapan kaum menengah kebawah yang berselera tinggi, kebijakan kredit kendaraan pun dikeluarkan dengan bunga 0%. Bertahun-tahun ini berlangsung, tanpa sadar kemacetan yang hari ini sering dikeluhkan orang-orang, ternyata bukanlah akhir dari dampak "Budaya Beli Mobil" tadi. Kemacetan juga akhirnya merembes lebih jauh ke aspek kehidupan yang lain, mempengaruhi banyak hal, dan sekali lagi kemacetan telah membuat kualitas hidup orang-orang di Jakarta menurun.
Dengan penduduk lebih dari 8 juta, Jakarta memiliki kesibukan jalan raya sebesar 20,7 juta perjalanan sehari. Dan 98% diantaranya dipenuhi oleh kendaraan pribadi. Jika dicari solusi dan formulasi apakah yang bisa menghentikan penyakit ini, jawabannya tentu akan luas sekali.
Salah satu ide awal yang paling "nyeleneh" adalah Menaikkan pajak kendaraan bermotor di semua jenis sebesar 100%, kecuali angkutan umum, mobil-mobil pengangkut bahan pokok dan komoditi perniagaan. Ditambah lagi pajak tambahan sebesar 25% setiap kepemilikan kendaraan pribadi lebih dari 1 unit di satu rumah tempat tinggal yang terdaftar.
Harapannya, pelan-pelan peraturan ini akan menahan niat masyarakat golongan ekonomi menengah untuk berbondong-bondong membeli mobil pribadi, dan bagi yang telah memiliki kendaraan pribadi tapi tak kuat bayar pajak, pelan-pelan akan menjual kendaraannya kedaerah lain yang tidak memiliki peraturan khusus seperti skenario peraturan untuk kota Jakarta tadi. Muara dari ide ini yaitu menekan laju peningkatan jumlah kendaraan pribadi di Jakarta.
Hingga hari ini, Jakarta masih menerbitkan STNK rata-rata 2400/hari. Setidaknya begitu menurut sebuah tulisan di Media Indonesia. Dalam tulisan itu juga dijelaskan, jumlah itu sama dengan memadati jalan raya sepanjang 4km/hari. Sehingga, jika ada yang memprediksi jalan di Jakarta akan macet total di tahun 2014, prediksi itu masuk akal sebab gejalanya telah kita saksikan bersama di tahun-tahun ini.
Lalu jika kendaraan pribadi berkurang, apakah penggantinya ?
Pajak 100% itu diperkirakan akan tetap mempertahankan keseimbangan pendapatan kota Jakarta. Tanpa gangguan pemasukan, dengan demikian Pemda DKI Jakarta bisa fokus memikirkan pembangunan yang mengarah pada pengadaan fasilitas transportasi umum yang berkualitas dengan standar layanan operasional yang modern. Jalan-jalan bagi pejalan kaki di modrenisasi pula, agar muncul budaya baru "Jalan Kaki Itu Sehat, Keren dan Modern" untuk jarak tempuh maksimal 1km/hari. Tidak seperti hari ini: jalan kaki itu becek, berebutan dengan motor yang naik kebahu jalan, diklakson oleh kendaraan pribadi karena terpaksa turun kejalan raya menghindari pot-pot bunga yang menutupi jalur trotoar.
Pihak manakah yang paling menentang ide ini ? Sudah pasti yang pertama adalah Korporasi-korporasi asing produsen mobil yang sudah menanam investasi sangat besar di Indonesia. Meski ada yang berjoin memakai bendera Indonesia, tapi jelas Kepentingan bisnis otomotif ini adalah kepentingan banyak negara seperti Jepang, Amerika, beberapa negara Eropha, Cina, bahkan Malaysia dan India. Mereka lah negara yang memahami benar potensi "Pasar Mobil" di Indonesia. Hinga apapun solusi untuk menata bangsa ini yang bersinggungan dengan kepentingan bisnis mereka, sudah pasti akan mati-matian dijegal. Paling tidak melalui jongos-jongos pribumi mereka yang berada di dalam sistem kekuasaan.
Itu lah sebabnya, wacana-wacana seperti ini tidak akan pernah dibahas lebih jauh apalagi disempurnakan. Sebab baru saja ide ini muncul, dia telah diberangus dan dikubur dalam-dalam.
Belum lagi mental masyarakat kita yang konsumtif dan matrealis, pasti tidak akan merestui juga. Saking primitifnya, dari pada menunggu trotoar modern yang tidak kunjung ada, naik angkutan umum modern yang tak kunjung ada pula, masyarakat kelas tanggung pasti lebih memilih beli mobil dan memenjarakan hidup mereka di titik-titik kemacetan, sebanyak 3 sampai 4jam/hari, menikmati nyamannya kendaraan pribadi mereka.
Kesimpulannya untuk pemecahan Macet yang sebenarnya, nyaris tidak pernah ada kesimpulan.