Menjadi Dokter dulu bukanlah hal yang mudah. Disamping diperlukan orang-orang yang cerdas secara akademik, profesi ini juga membutuhkan kualifikasi lain, yang harus di akui tidak semua orang bisa memilikinya. Sangat selektif, dan ketat sekali, begitulah dunia kedokteran tempo hari tersystem dengan rapi dalam memproduksi para dokter. Kuliahnya yang relatif lama, dan menyedot biaya yang cukup tinggi,merupakan satu indikasi, bahwa tidak lah mudah mencetak seorang dokter, meski dasar mereka adalah orang-orang pintar.
Namun system itu mulai rusak hari ini. Perguruan tinggi yang biasa menjadi 'pabrik' yang memproduksi dokter-dokter pilihan tadi, mulai menurunkan standar kualitas 'bahan baku' dari para calon dokter itu. Lebih rusaknya lagi, dengan dalih otonomi kampus dan dengan alasan lain yang bersifat matrealistis, kuantitas mejadi lebih penting.
Orang 'berduit' bisa langsung mendapat tempat untuk digembleng menjadi dokter. Siapkan uang di depan Rp.100jt, maka 'jalan tol' menjadi dokter pun akan dibuka khusus. Biasanya program ini disamarkan dengan Program kuliah ekstensi.
Yang menempuh jalur ini biasanya bukan orang sembarangan. Kemampuan finansial seperti itu lebih jauh menandakan bahwa orang tersebut hidup dilingkungan yang berpengaruh. Ini membuat mereka yang tak berkualitas itu tetap 'pede'. Mereka tidak perlu khawatir tidak akan mendapat peluang yang baik ketika tamat nanti, meski mereka sebenarnya sadar, mereka sedang di proses menjadi seorang dokter karbitan.
Mereka tamat, dan mereka bekerja sebagai dokter. Namun keterbatasan kualitas mereka, kemudian justru menjadi ancaman. Diagnosa abal-abal mereka keluarkan, resep-resep salah arah mereka rekomendasikan, ujung-ujungnya malaprakter.
Dan ketika pasien menggugat, mereka kembali aman. Karena seperti yang biasanya terjadi, penegak hukum di Indonesia ini, masih terlalu murah harga dirinya untuk bisa di beli oleh komplotan dokter 'karbitan' yang rata-rata memang 'berduit' itu. Berkas hilang di kejaksaan, vonis pengadilan yang tak bisa di laksanakan (seperti penuturan para korban malapraktek di acara Kick Andi-Metro TV-Mencari Keadilan), dan ada-ada saja dalih lain yang membuat para dokter 'subtitusi' ini tetap bisa nyaman mempraktekkan ilmu yang barangkali tak mereka kuasai.
Perguruan tinggi, sebagai tempat awal mereka 'diciptakan' sepertinya harus diperingatkan lebih keras. Agar mereka berhenti, memproduksi manusia-manusia dengan standalisasi rendah. Sebab dari kelemahan system yang mereka buat itu, hanya akan menghasilkan sarjana-sarjana limbah, yang kehadirannya dikemudian hari, pasti akan menimbulkan masalah.