Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan Pilihan

Kekerasan atas Nama Pendidikan (Sebuah Refleksi Bentuk Keprihatinan)

14 September 2014   01:19 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:46 98 3

Tadi saya menonton sebuah berita tentang perploncoan (baca: kekerasan) atas nama pengenalan kampus. Hal ini membuat saya berpikir, apakah bangsa ini butuh budaya kekerasan yang disembunyikan dalam kedok mulia pendidikan. Manusia macam apa yang melakukan tindakan macam begini? Banyak, dan mereka semua melakukannya lagi-lagi atas nama pengenalan kampus.

Mari kita berpikir sejenak, apakah pukulan dan tendangan bisa membuat mereka jadi mengenal pentingnya pendidikan untuk kehidupan? Apakah cacian yang menohok hati bisa membuat mereka tahu pentingnya mendengar kuliah dosen di kelas? Jika kita semua mengaku sebagai manusia yang baik budi dan sadar kemanusiaan, tentu hal ini sanggup membuat kita prihatin dan mengecamnya. Jika kita semua mengaku sebagai insan terdidik dan berpikir dewasa, maka kekerasan di masa orientasi adalah hal yang harusnya bisa dihapuskan karena tak punya manfaat apa-apa.

Saya kembali bertanya kepada Anda, apa ada korelasi yang penting antara sebuah tradisi kekerasan dengan pengenalan kampus sebagai institusi pendidikan? Justru, kekerasan dan pendidikan adalah sebuah hal yang bertolak belakang. Orang terdidik biasanya menganggap kekerasan adalah sebuah budaya yang tak patut. Tradisi kaum bar-bar yang mementingkan otot daripada otak.

Di laman Wikipedia sendiri, OSPEK di Indonesia disebut sebagai ajang mempermalukan yunior secara fisik dan mental. Secara psikologis, sebagai ajang balas dendam senior karena pernah diperlakukan sama sebelumnya. Sekarang berikan saya argumen, apakah hal “bar-bar” seperti ini akan kita terus pelihara? Apakah ada yang mengatakan bahwa hal ini adalah sebuah keharusan untuk membuat “mental mereka kuat”? Apakah semua harus dilakukan dengan pukulan dan tendangan yang membuat kerusakan fisik serta mental?

Saya pernah membaca sebuah artikel, bahwa siswa baru di sebuah SMA di Singapura (dalam rangka orientasi tentunya) mengharuskan seorang siswa untuk membuat bahagia 20 orang yang mereka temui di jalan. Agak lucu, tapi disinilah sisi menariknya. Memanusiakan siswa dan menyadarkan mereka bahwa pada dasarnya pendidikan tentu tak bisa lepas dari unsur masyarakat sebagai tempat mereka mengimplementasikan pendidikan yang selama ini mereka dapat.

Di Indonesia sendiri, selain pengadaan “teror fisik dan mental”, siswa/mahasiwa juga sering disuruh untuk membawa barang-barang yang tak berhubungan dengan tujuan masa orientasi itu sendiri: pengenalan lingkungan sekolah/kampus dan menambah wawasan tentang institusi pendidikan yang mereka sudah pilih. Jelaskan kepada kami, apakah tas dari kantong plastik membuat mereka mengetahui tentang prestasi apa saja yang telah sekolah/kampus mereka telah raih? Apakah musti ditambah dengan tindakan yang membuat fisik dan mental menderita?

Jika kata-kata saya diatas agaknya membuat sebagian orang kemudian meradang, maka itu tak ada apa-apanya dibanding dengan perasaan saat tahu ada teman, sanak saudara, atau bahkan keluarga mengalami “teror fisik dan mental” yang mengatasnamakan pengenalan kampus. Semangat “Revolusi Mental” yang didengungkan belakangan ini juga bisa mempengaruhi pola pikir kita semua untuk masalah yang sudah lama terjadi ini dan harusnya budaya buruk ini segera dihentikan karena sama sekali tak berguna.

Sebagai penutup, saya akan mengutip salah satu perkataan Soe Hok Gie yang terkenal; “Masih terlalu banyak mahasiswa yang bermental sok kuasa. Merintih kalau ditekan, tapi menindas kalau berkuasa. Mementingkan golongan, ormas, teman seideologi dan lain-lain. Setiap tahun datang adik-adik saya dari sekolah menengah. Mereka akan jadi korban-korban baru untuk ditipu oleh tokoh-tokoh mahasiswa semacam tadi.”

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun