Rezim, para tiran, diktator dan pembantu-pembantunya, maupun mereka yang diuntungkan oleh kekuasaan di negara yang bersangkutan tentu saja merasa terancam. Mereka takut jatuh, kehilangan fasilitas, kekayaan dan posisi. mereka takut kembali jadi manusia biasa seperti kaum pemrotes, yang papa dan bukan siapa-siapa. Mereka takut akan kemungkinan pembalasan dendam dari kaum ' bukan siapa-siapa ' , sedangkan mereka sudah tidak punya cukup uang untuk membayar para tukang pukul. Mereka takut akan kesulitan hidup dan kesengsaraan yang selama ini hanya mereka tertawakan dari balik jendela mobil mewah dan rumah gedongannya.
Sebenarnya sih Bapak-bapak dan Ibu-ibu pejabat tinggi di negara tercinta Indonesia tidak perlu takut terhadap peluang bertumbuh kembangnya peristiwa serupa di tanah kita. Saya yakin 300 jutaan rakyat Indonesia adalah pecinta kedamaian dan ketentraman, sekaligus para jagoan bertahan hidup yang setangguh Brama Kumbara. O ya ? Lho lha iya to.. Kalau Bapak-bapak dan Ibu-ibu yth sempat pergi ke pasar tradisional atau berbelanja di warung kelontong, pasti sudah tahu kan harga beras saat ini sudah mencapai Rp 7000-an/ kg. Minyak goreng curah Rp 12.000-an/kg nya. Memang benar harga garam meja masih Rp 800/ bungkus. Tapi apakah tega hati orang tua memberi makan anak-anak yang masih duduk di bangku sekolah dengan nasi dan garam ? Toh, para ibu rumah tangga tidak serta merta mengorganisir protes massal untuk menyikapi kian menggilanya harga kebutuhan dapur. Tidak juga memprovokasi suami mereka untuk segera minta kenaikan upah. Semua tetap mereka terima dengan lapang dada dan berbekal sedikit pesimistis, belum tentu pergantian kepemimpinan siapapun tokohnya akan sontak membawa perubahan yang selama ini hanyalah bunga dalam tidur penghuni republik ini.
Kedamaian dan ketenangan hidup dalam bermasyarakat dan bernegara tetaplah yang paling utama. Biarlah hanya ulah Pencipta melalui serangan bencana alam menjadi satu-satunya penyebab kekisruhan nasional. Asalkan gejolak horizontal yang memicu permusuhan antar sesama warga negara, tidak kekerasan dan bentrokan bersenjata tidak akan pernah terjadi lagi di Nusantara. Andaikan para pemimpin belum mampu berbuat banyak demi kesejahteraan rakyat seutuhnya, okelah kami masih sabar menanti.
Satu hal yang perlu diwaspadai dan diselesaikan oleh para pemimpin adalah bagaimana cara mengatasi dan mencegah pembangkangan atau protes nasional itu tumbuh dan meluas. Tidak cukup dengan hanya menyebar sebanyak mungkin intel untuk mengawasi tiap gerak gerik warga negara, atau memblokir jejaring sosial tempat kaum aktifis nakal menyebarkan ide-ide gila mereka. Namun cukup dengan sedikit berempati dan melontarkan pertanyaan-pertanyaan kepada diri sendiri : ' apakah yang kira-kira akan dilakukan dan dirasakan seorang manusia dalam kondisi perut lapar yang teramat sangat ? '