Di saat itulah, seorang doktor atau profesor pun bisa mengalami turunnya logika (mindlessness condition), lalu tampak lebih bodoh dari seorang petani atau penggembala sapi. Atau merujuk terminologi Profesor Rocky Gerung, mendadak dungu tingkat tinggi.
Sebagai pembuka, coba kita ingat kembali kasus Dimas Kanjeng soal penggandaan uang. Tak tanggung-tanggung, korbannya adalah Marwah Daud PhD, seorang doktor lulusan terbaik jurusan komunikasi internasional bidang satelit di AS. Dia juga mantan anggota DPR RI dan sempat mundur dari jabatan MUI karena membela Dimas Kanjeng.
Nampaknya fenomena ini menimpa pula pada seorang Dr. H. Bambang Widjojanto, S.H., M.Sc., ketika yang bersangkutan saat ini menjadi Ketua TKH BPN Prabowo Sandi dalam sidang sengketa pilpres 2019 di MK. Bagaimana bisa diterima dengan akal sehat, pengacara yang menggugat suatu kasus ke pengadilan, tapi malah menyuruh hakim yang membuktikan kasusnya?
Dilansir dari merdeka.com, Bambang Widjojanto menyebut kecurangan dalam Pemilu 2019 dilakukan sangat canggih. Sehingga, yang bisa membuktikan itu justru pihak Mahkamah Konstitusi.
"Siapa yang bisa buktikan ini? Pemohon? Tidak mungkin. Kejahatan ini dilakukan dengan sangat canggih. Hanya institusi negara yang bisa atau orang memiliki keahlian luar biasa bisa membuktikan ini. Karena ini canggih," kata Bambang di Media Center Prabowo-Sandiaga, Jakarta Selatan, Senin (24/6).
Bambang menyebut, dalam sengketa Pilpres 2019 selalu yang dijadikan perbandingan adalah form C1. Itu untuk membuktikan perbedaan selisih suara. Kata dia, bakal sulit dengan sidang cara lama tersebut membuktikan kecurangan.
Menurut mantan pimpinan KPK itu, Mahkamah Konstitusi seharusnya menghadirkan metode investigasi saintifik dalam sidang.
"Ini jadi soal. C1 yang diupload ke dalam situng, maka sesungguhnya itu bermasalah. Maukah MK membuka itu untuk menjadi satu modern constitutional court di mana gunakan modern scientific investigation research," ucap Bambang.
Maka itu, menurutnya perlu dihadirkan ahli forensik teknologi informasi untuk membuktikan kecurangan. Seperti yang dia klaim dengan menghadirkan saksi ahli Jaswar Koto. Hal itu yang menurut Bambang, gagal dibantah pihak KPU dan TKN Jokowi-Ma'ruf.
"Sekarang gini pernah gak sengketa hasil presiden itu menghadirkan hasil forensik? Pernah gak ada ahli yang mengungkap kecurangan dengan metode forensik? Mempersoalkan sistem teknologi informasi dari kpu yg bermasalah?" kata Bambang.
Perubahan yang sangat jauh, sebagaimana dengan kisah Marwah Daud Ibrahim yang terhipnotis oleh Dimas Kanjeng sehingga kehilangan logika dan kejeniusannya, nampaknya BW pun mengalami hal serupa, yang sepertinya terpapar virus yang secara berjamaah menjangkiti kubu Prabowo-Sandi dan para pendukungnya, yang secara kebetulan dianalogikan sebagai makhluk tak lazim, beraktivitas di malam hari dan tidur di siang hari, dengan posisi tak lazim pula, menggantung dengan posisi kaki di atas, sementara otak dan kepalanya di bawah. Kelelawar, kalong atau kampret dan sejenisnya.
Keyakinan sesat adanya pemilu curang telah melibas nalar dan logika akademik seorang BW. Padahal jelas-jelas Hakim MK mengatakan kalau situng KPU hanya sebagai pemantau perhitungan. Sistem perhitungan manual berjenjang yang menjadi patokan. Dan itu yang seharusnya dibuktikan adanya kecurangan oleh pihak 02 bukan malah berkutat pada situng KPU.
Mempercayai omongan Bambang soal kecurangan TSM sama seperti mempercayai Marwah Daud kalau Dimas Kanjeng bisa menggandakan uang. Pada akhirnya kebrobrokan Dimas Kanjeng terungkap dan orang-orang akan terus mempertanyakan kredibilitas seorang Marwah Daud. Hilang sudah marwahnya, lulusan LN, pejabat negara tak ada wibawanya kalau sudah mempercayai pembohong. Sama juga dengan BW yang akan dikenang sampai sisa hidupnya dengan pembela tuduhan palsu adanya kecurangan pemilu.
Dari awal sidang saja banyak saksi-saksi dagelan yang dibawa BPN. Saksi yang ditanya Hakim A jawabannya Z, saksi terancam tapi ancaman jauh sebelum persidangan. Saksi yang terancam dengan banyaknya mobil terparkir di depan rumah. Saksi yang berstatus narapidana dengan ijin yang tak sesuai. Saksi yang katanya menemukan surat suara dibuang di juwangi tapi setelah diperiksa ternyata surat suara baru yang belum terpakai. Saksi ahli IT tapi bidangnya perkapalan dan tak mengetahui perolehan suara nasional. Saksi 'wow' Hairul Anas yang gagal paham masalah briefing latihan TKN. Dan masih banyak saksi-saksi ambigu lainnya.
Lalu dengan saksi-saksi melempem dan ambigu, plus bukti-bukti dokumen yang tak memadai, sekarang BW jadi melempar kesalahan ke Hakim MK? Apa bukan semakin ngawur itu namanya?
Tanpa bermaksud mendahului dan menggiring opini kiranya publik sudah bisa membaca ke arah mana hakim MK akan memutuskan. Kita tunggu saja yang dipercepat pada 27 Juni mendatang, di ujung sengketa pilpres ini saat keputusan akhir diumumkan oleh MK.