Pada 12 Oktober 2014, keluarga tamasya (band indie asal Jember) melalui zona edukasi CLBK on air di Prosatu RRI Jember, sengaja mendatangkan Kepala Bidang Lalu Lintas Dinas Perhubungan Jember, Gatot Triyono. Ia memulai percakapan itu dengan mula-mula menjelaskan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 3 Tahun 1994, disusul kemudian permintaan maaf kepada masyarakat Jember perihal pengadaan Pita Penggaduh. Segala kritik akan dipikirkan di ranah evaluasi.
Adanya marka kejut di Jember didasarkan pada data statistik mengenai tingkat kecelakaan di beberapa ruas jalan di Jember. Dari sana kemudian timbul ide --mendadak-- mengenai pemasangan marka kejut. Ia dirancang untuk mencegah laju kecepatan di beberapa ruas jalan yang ramai dan penting, serta rawan terjadi kecelakaan lalu lintas.
Dalam acara CLBK on air tersebut, yang disiarkan secara langsung, ada satu pertanyaan yang tidak bisa dijawab dengan sempurna oleh Gator Triyono, yaitu mengenai kenyamanan transportasi untuk Ibu-ibu hamil, perempuan haid, serta pasien di dalam ambulance. Menurut Gatot Triyono, ia bersama tim ahli akan segera melakukan evaluasi di bidang itu.
Dinamika pro-kontra di masyarakat Jember pun tak terhindarkan, selayaknya kebijakan-kebijakan lain yang dianggap aneh. Namun menurut Gatot Triyono, sejak DISHUB Jember melakukan pemasangan marka kejut di beberapa titik, banyak dari warga Jember justru melayangkan surat permohonan kepada pihaknya untuk pemasangan marka kejut baru di wilayah si pengirim surat.
Eko Bambang T, warga Jember yang kini tinggal di Bondowoso, ia menyampaikan pendapatnya melalui group keluarga tamasya pada 13 Oktober 2014. Berikut yang ia tuliskan.
"Salah satu kebijakan daerah paling bodoh yang pernah aku lihat. Logika pemasangan marka kejut untuk mengurangi angka kecelakaan adalah benar-benar tidak bisa diterima akal sehat . Coba cross check, sebenarnya berapa sih angka riil lakalantas di dalam kota Jember? Kalaupun memang tinggi, apakah pemasangan begitu banyak marka kejut di ruas-ruas jalan utama adalah yang paling tepat ? Faktanya kebijakan itu sampai jadi rasan-rasan dan bahan guyonan oleh warga luar kota Jember . Pertanyaannya, jika dengan pemasangan marka kejut masih tetap terjadi lakalantas, apakah nantinya akan ada kebijakan pemasangan pasir dan tumpukan ban di sisi kiri kanan jalan seperti yang ada di sirkuit-sirkuit balap? Mbok yo sing masuk akal pak pak nek nggawe kebijakan. Berita TV setiap hari menampilkan kecelakaan maut dalam angka tinggi di Jakarta dan itupun tidak sampai Pemprov DKI membuat kebijakan polisitidurisasi. Sampeyan diguyu wong sak dunyo Pak!"
Pada 10 Oktober 2014, RRI Jember menurunkan berita tertulis di website-nya, berjudul, Pengamat Kritik, Jember Jadi Kota Seribu Polisi Tidur. Di sana dituliskan jika Sonya Sulistiyo, pengamat lalu lintas dan transportasi dari Universitas Jember, ia menilai pemasangan marka kejut oleh Dinas Perhubungan pemkab setempat yang terpasang di sejumlah ruas jalan protokol terkesan sangat dipaksakan, sehingga perlu dilakukan pengkajiaan ulang. “Secara teori pemasangan marka kejut harus menyesuaikan kebutuhan, namun yang ada saat ini memang jarak pemasangan terlalu berdekataan sehingga akan banyak berpengaruh terhadap kenyamanan para penguna jalan,” ujarnya di berita tersebut. Ditambahkan oleh Sonya Sulistiyo, "Pemasangan marka kejut yang ada saat ini memang terkesan seperti diobral sehingga tidak heran banyak menimbulkan keresahan masyarakat, khususnya para pengguna jalan, saran kami sebaiknya dishub bisa mengurangi dan hanya menempatkan pada titik yang dinilai memang membutuhkan."
Ketika saya berkesempatan berdiskusi dengan Gatot Triyono dua hari setelah pemberitaan di atas, ia bilang, "Saya sudah berkomunikasi dengan Bapak Sonya. Kini Bapak Sonya adalah bagian dari tim sukses kami.
Hari-hari selanjutnya setelah bulan Oktober 2014, Jember dikenal sebagai kota dengan 1000 polisi tidur. Mungkin maksud mereka adalah marka kejut. Salah satu stasiun televisi swasta pun menayangkan ini, dengan tema; Kota paling banyak polisi tidur.
Di dunia maya, orang-orang banyak menyebarkan meme dengan judul, Jember Kota Dag-gradag.
Di hari yang lain, ketika saya berkesempatan berbincang dengan Erfan, salah satu sopir ambulance di RSD. dr. Soebandi Jember, dia bilang, "Kini jika saya harus mengantar pasien yang menderita cedera otak berat maupun ringan, yang dirujuk ke Surabaya, maka saya akan mengemudikan ambulance dengan pelan dan berhati-hati, setidaknya hingga sampai di kecamatan Rambipuji. Setelah melewati Rambipuji, baru saya bisa tancap gas."
Kiranya, salah satu akar masalahnya adalah pertumbuhan penduduk yang tidak diimbangi oleh angkutan massal yang nyaman, serta dengan harga yang terjangkau.
Kini, setelah satu tahun Jember dikejutkan marka kejut, bagaimana kabar peninjauan ulang tentangnya? Apakah Kabid Lalin Dinas perhubungan Jember telah memiliki jalan keluar untuk kenyamanan pengguna jalan seperti Ibu-ibu hamil, perempuan yang sedang haid, dan pasien pengguna ambulance? Bagaimana pula perbandingan angka statistik lakalantas dulu dan sekarang? Saya kira, akan baik jika pihak terkait mampu memberi penjelasan sederhana kepada masyarakat Jember, sebab mereka memang berhak untuk mengerti.
Selamat Hari Perhubungan Nasional.