Sekilas tentang sejarah DAMRI.
Pada 1943, pemerintah pendudukan Jepang membentuk dua perusahaan jawatan bernama Zidosha Sokyoku dan Jawa Unyu Zigyosha. Ketika Indonesia merdeka, dua armada darat tersebut diambil alih, dijadikan satu, dan berganti nama menjadi Djawatan Angkutan Motor Republik Indonesia (DAMRI). Keputusan tersebut dibentuk berdasarkan Maklumat Kementerian Perhubungan RI No.01/DAMRI/46 tanggal 25 Nopember 1946. Tugas utama DAMRI adalah menyelenggarakan angkutan penumpang dan barang di atas jalan dengan menggunakan kendaraan bermotor.
Keunikan DAMRI bisa kita lihat dari namanya yang masih menggunakan ejaan lama. Nama ini sengaja diabadikan sebagai brand mark dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Baiklah, kini saatnya saya bercerita tentang angkotan dalam kota bus DAMRI yang pernah menghiasi kota kecil Jember.
Dimulai dari sepenggal kisah kemarin..
Saya kaget ketika ada seorang lelaki sepuh tersenyum ke arah saya. Wajahnya familiar, hanya saja saya tidak tahu namanya. Lama saya mengingatnya. Lalu.. Ya ya, saya ingat sekarang. Beliau adalah sopir bus DAMRI Jember di jaman saya sekolah dulu.
Senyum Bapak tersebut ibarat sebuah gembok yang membuka pintu bernama kenangan. Saat itu tiket angkot bus untuk pelajar (berwarna hijau) masih 50 rupiah, lalu 'mundak' menjadi 100 rupiah. Sesaat setelah EBTANAS SMA, tiket bus DAMRI menjadi 200 rupiah, sedangkan untuk umum (yang tiketnya berwarna kuning) dipatok dengan harga dua kali lipatnya. Kenaikan tarif terjadi pada bulan April - Mei 98, di musim krismon.
Haha.. Saya jadi ingat masa-masa ketika menanti Bus DAMRI letter A atau B dari Bayangkhara - Jember menuju terminal Arjasa. Biasanya saya duduk-duduk dulu di warung seberang kantor Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Jember.
Di saat bus DAMRI datang, saya selalu menempati posisi favorit, yaitu berdiri di pintu belakang. Ketika wajah saya yang tak seberapa tampan ini tertiup angin, ah alangkah nikmatnya.
Selain letter A dan B, ada juga bus DAMRI letter D, yang memiliki trayek dari Terminal Tawang Alun menuju Terminal Pakusari. Pernah juga dilakukan terobosan baru, letter AT, untuk mengantisipasi kebutuhan pelajar STM Negeri Jember. Sayangnya letter AT hanya beroperasi di pagi dan siang hari, dan tidak berlangsung lama.
Namun di balik kenangan manis akan Bus DAMRI Jember, ada juga kenangan yang lain.
Sejarah mencatat terjadinya tragedi Rembangan yang menewaskan 22 jiwa, dengan puluhan lainnya luka-luka. Itu terjadi pada 2 Juli 2002. Salah satu korban meninggal adalah tetangga saya sendiri.
Pertengahan 2002 adalah saat dimana armada bus DAMRI mulai sering disewakan (biasanya untuk pariwisata dalam kota). Tarif untuk non pelajar adalah 1.700 rupiah dan untuk pelajar 800 rupiah.
Mengenai tarif tersebut, sempat ada kecemburuan antara bus DAMRI dengan paguyuban Lyn (Lyn adalah angkot lain yang sudah lama beroperasi di Jember). Satu bulan sebelum terjadi tragedi Rembangan, sempat terjadi adanya aksi mogok yang dilakukan oleh para supir Lyn. Mereka memprotes bus DAMRI milik Perum Damri Unit Jember yang memutuskan tidak menaikkan tarif angkutan.
Pada awal Juni 2002 tariff Lyn yang semula 1800 rupiah naik menjadi 2500 rupiah. Sedangkan untuk pelajar yang semula 900 rupiah naik menjadi 1250 rupiah.
Seingat saya, ratusan penumpang di hari terjadinya mogok tersebut akhirnya diangkut oleh truk kepolisian resort Jember (penumpang terbanyak adalah para pelajar) dan beberapa bus sekolah yang dikerahkan oleh Dishub Jember.
Aksi mogok yang benar-benar dahsyat. Saya masih mengingat ketika ada banyak sekali Lyn yang parkir berjajar di depan rumah saya, di daerah Patrang dekat Taman Makam Pahlawan.
Dimulai sejak 2002 hingga berlalu waktu, bus DAMRI Jember terlihat semakin terseok. Mula-mula ditandai dengan pengurangan operasi armada. Dari 32 armada reguler yang dimiliki Perum Damri Jember, hanya delapan unit yang beroperasi.
Ada terdengar kabar, antara tahun 2007 - 2008, DAMRI Jember semakin terperosok hingga akhirnya tak lagi beroperasi.
Terlepas dari semuanya, saya pernah merasa bangga hidup di kota kecil yang memiliki angkot berupa bus. Terima kasih buat Bapak-Bapak sopir dan kondektur bus DAMRI Jember, atas jasa dan kenangannya. Semisal saya dulu pernah tidak membayar karcis, mohon maaf lahir dan bathin ya Pak.