Ketika saya masih SD, seorang kawan satu kelas pernah membawa komik Donald Bebek, dan komik tersebut dia pinjamkan kepada saya. Hasilnya? Saya jatuh cinta dengan Hiyawata, tokoh indian muda yang juga ada satu bendel dengan cerita Donald Bebek. Hari-hari selanjutnya saya tidak berhenti berimajinasi, membayangkan betapa bahagianya jika saya mempunyai jalan hidup seceria Hiyawata.
Secuil kisah di atas mengantarkan saya untuk merengek pada orang tua. Bisa ditebak, tak lama kemudian saya mendapatkan beberapa bendel komik Donald Bebek. Yah, meskipun bekas tapi itu sungguh berarti. Kabar baiknya, kebahagiaan saya tidak berhenti sampai di sana. Sekitar beberapa waktu kemudian (entah berapa lama waktu tersebut, saya lupa) mereka berlangganan majalah Bobo. Tentu saja itu untuk saya.
Ohya, lupa saya ceritakan bahwa saya tumbuh di tengah keluarga sederhana. Tidak bisa dikatakan kaya karena Bapak hanyalah seorang karyawan PN biasa, sedangkan Ibu menjadi ibu rumah tangga sejati. Tapi justru di sanalah letak keistimewaannya. Dalam keterbatasan ekonomi, mereka masih memikirkan asupan literasi pada buah hatinya.
Haripun berlalu, saya semakin bertumbuh dan bertumbuh. Dari yang tadinya jatuh cinta pada Hiyawata, lalu berkenalan dengan orang-orang Galia-nya Asterix Obelix, Bobo, kemudian novel-novel detektif semacam lima sekawan, begitu seterusnya. Kesukaan di masa kecil ini terpelihara dengan sendirinya hingga saat ini. Semua yang menarik hati pasti saya baca. Bahkan saya memiliki kebiasaan buruk setiap kali makan nasi bungkus. Koran pembungkusnya tidak segera saya buang melainkan saya pantengin setiap hurufnya. Saya melahap setiap huruf yang tersisa, seperti ketika saya melahap nasinya.
Begitu sederhananya proses perjalanan saya dalam mencintai buku. Bermula dari keinginan kecil, kemudian mendapatkan perhatian dari orang-orang terdekat. Sesederhana itu saja. Itulah kenapa hingga saat ini saya selalu pro aktif dan berbaik sangka apabila ada seorang teman yang sedang merintis budaya literasi, sedang membuat perpustakaan sekecil apapun, mengumpulkan buku untuk mereka yang lebih membutuhkan, atau sekedar meminjam buku yang saya punya. Saya senang, dan saya ingin melihat mereka melayang.
Kita memang terlahir tanpa sayap. Tapi secara naluriah, sesekali imajinasi kita menuntut untuk bisa terbang. Tak mungkin kedua tangan ini kita sulap menjadi sepasang sayap. Dan bila kita bersahabat dengan buku, yakinlah bahwa kita masih bisa terbang.
Sahabat kompasianer, mari bersahabat dengan buku.