Topeng Lombok seringkali melibatkan interaksi sosial antara masyarakat lokal dengan masyarakat etnis Bali di Lombok. Banyak orang Bali yang menetap di Lombok sejak masa pemerintahan Raja Karangasem Singosari pada tahun 1692-1839. Kontak sosial dan budaya ini kemungkinan juga terkait dengan sejarah masuknya Islam di Lombok, terindikasi dari nama-nama pemain dalam teater tradisional tersebut yang memiliki nama seperti Ida (tuan tanah), Idayu (putri Ida), Jroayan, dan Tuan Guru (pemuka agama Islam di Lombok).
Topeng tradisional ini memiliki beragam karakter, mulai dari karakter angkara (tamak, rakus) seperti topeng Cupak, hingga karakter yang kuat, bijak, humanis, dan kharismatik seperti topeng Amaq Abir dan Amaq Darmi. Kemungkinan nama-nama ini sesuai dengan arti kata yang terkait, misalnya Abir yang bermakna akbar (besar) atau Darmi yang bermakna kebenaran. Terdapat juga sosok humanis yang terlihat pada wajah Amaq Tempenges (pembantu Ida dalam teater topeng Amaq Abir), yang kemungkinan nama tersebut mengandung arti tepeng (jujur) dan inges (ganteng).
Meskipun tidak diketahui secara pasti kapan seni topeng atau teater topeng lahir di Lombok, buku "Seni Topeng di Lombok" yang diterbitkan oleh Museum Negeri NTB pada tahun 1995/1996 memperkirakan bahwa seni topeng sudah dikenal oleh suku Sasak sejak abad VIII-IX. Hal ini dapat dikaitkan dengan kejayaan agama Buddha di Indonesia (seperti Candi Borobudur) dan adanya pengaruh Buddha (seperti situs Pendua di Kecamatan Gangga, Lombok Barat), di mana sebagian penduduknya masih memeluk agama Buddha hingga saat ini.