Kepentingan ideolegis tersebut sangat transparan dalam kebudayaan Jawa yang memandang wanita sebagai konco wingking. Wanita hanya dianggap sebagai orang yang bertanggung jawab atas segala urusan dapur. Atau wanita dimaknai sebagai wani ditata. Berani diatur! Siapa yang mengatur? Jawabnya, tentu saja laki-laki.
Duh, betapa nestapanya nasib perempuan dalam hal ini. apalagi jika lebih jauh menengok ke belakang pada ihkwal kejadiannya. Konon,wanita itu tercipta dari tulang rusuk sebelah kiri laki-laki. Bahkan dalam kisah penciptaan Adam dan Hawa, perempuan ditugaskan untuk menemani dan menghibur Adam yang kesepian di surga.
Dalam hal perkawinan pun. Wanita seperti tak memiliki peran yang menetukan dalam perceraain. Adakah cerita perempuan “menceraikan” suaminya? Kalaupun ada, tentusangat langka dan tentu saja melalui proses yang rumit. Yang pasti ada, adalah suami yang menceraikan wanita yang menjadi istrinya.
Tetapi terlepas dari semua itu, pada kenyataannya sering dijumpai wanita yang hobi kawin cerai. Cerai dalam hal ini, bisa karena takdir (ditinggal mati oleh sang suami) atau benar-benar diceraikan sang suami karena sebab-sebab tertentu.
Dalam kultur Jawa, ada wanita yang disebut Bahulaweyan. Wanita-wanita demikian, potensial sekali ditinggal mati suaminya. Kematian sang suami pun, lebih disebabkan cacat yang dimiliki sang wanita Bahulaweyan ini sendiri. Akibatnya, setiap ditinggal mati suaminya dan kawin lagi, maka suami pengganti tak lebih dari awal kematian lelaki itu sendiri.
Dalam Ephos Ramayana disebut-sebut tentang Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwat Diyu. Bumi mendadak terguncang hebat, ketika Dewi Sukesi ingin mengetahui tabir di balik ajaran itu. Kahyangan sebagai dunia para dewa, seperti diayun gempa dahsyat yang tak pernah terjadi sebelumnya. Duh, betapa wingit, angker, keramat, dan sakralnya Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu itu.