‘Dasar singkek’ begitulah kira-kira sebutan dalam keseharian yang mengidentikkan kepelitan seseorang. Label singkek sering diidentikkan dengan orang tionghoa yang pelit, tertutup, dan asosial. Meski kenyataannya mereka melakukan itu karena dibatasi oleh keadaan sebagai perantauan.
Padahal, istilah singkek berarti pendatang baru, berasal dari penggabungan dua suku kata dalam bahasa khek. ‘Sin’ yang berarti baru, dan ‘khe’ berarti tamu. Dengan demikian, istilah singkek ini muncul untuk menyebut orang-orang kelahiran Tiongkok yang baru datang di Nusantara. Sebutan itu sendiri diberikan oleh orang-orang Tionghoa peranakan yang turun temurun telah lebih dulu disini.
Dalam sebuah literatur, pada zaman Belanda, istilah singkek juga dipakai untuk membedakan golongan-golongan Tionghoa di Nusantara; Tionghoa Totok dan Tionghoa Peranakan. Pada awalnya, kedua golongan tersebut dibedakan berdasar darah keturunannya. Orang Tionghoa kelahiran Tiongkok dan baru datang di Nusantara atau singkek, disebut Totok. Sedang yang lahir disini dan darahnya telah bercampur dengan penduduk lokal disebut peranakan atau babah.
Nah, karena sulitnya berinteraksi dengan lingkungan sekitar karena kendala bahasa itulah yang kemudian memunculkan anggapan miring bahwa seorang singkek itu tertutup dan asosial. Bahkan, bukan asosial saja, singkek lebih diidentikkan dengan sifat kikir atau pelit bin medit. Hingga kemudian muncul kata-kata “ dasar singkek” atau “ seperti singkek “ untuk menyebutkan seseorang yang pelit, apa pun etnisnya.
Orang-orang singkekatau totok pada masa lalu memang masih memandang Tiongkok sebagai tanah tumpah darahnya. Berbeda dengan babah yang lebih memilih Indonesia sebagai tanah airnya. Ini bisa dilihat saat banyak singkek atau totok memilih kembali menjadi warga Tiongkok pasca perjanjian dwikewarganegaraan antara RI dan RRC pada tahun 1957. Namun, tidak sedikit pula singkek yang tetap bertahan di Indonesia.
Selain masih memegang teguh budaya leluhur, seorang singkek memiliki perilaku dan cara pandang yang lebih khusus. Keadaan yang harus mereka jalani saat tiba awal di Nusantara, menjadi penyebab tumbuhnya perilaku dan cara pandang tersebut.
Singkek ini biasanya memiliki semangat kerja yang tinggi. Karena sebagai orang perantauan dengan segala keterbatasan, mereka dituntut untuk bertahan hidup di negeri orang. Maka satu-satunya jalan ia harus bekerja keras dan berhemat. Singkek mengumpulkan uang hasil kerja kerasnya itu sedikit demi sedikit. Mereka sangat berhati-hati dalam mengeluarkan uang. Hidup pun dijalani dengan semangat keprihatinan. Mereka rela hanya memakan bubur setiap hari dan berpakaian seadanya, sebelum mendapatkan kesuksesan. Sikap seperti ini yang membuat mereka dicap pelit. Padahal, kalau kebetulan kita pernah merantau juga akan mengalami saat-saat demikian, semangat keprihatinan. Mungkin lebih halusnya dikatakan berhemat karena keadaan itu terpola dan menjadi budaya yang diturunkan leluhurnya saat mereka menjadi perantauan yang jauh dari negeri asal.