Awalnya saya pesimis bahwa penyidikan kasus Gayus ini hanya akan mentok di level bawah saja dari pihak kepolisian sebagaimana sering terjadi. Tapi syukurlah penyidikan mulai mengarah ke perwira tinggi. Mudah-mudahan tidak mentok di perwira tersebut tapi juga ke atas lagi, bila memang terlibat, sebagaimana yang diduga Komjen Susno Duaji.
Di pihak Ditjen Pajak pun kasus Gayus menyeret beberapa orang. Dari pemberitaan diketahui ada 10 orang yang diduga terlibat dalam kasus Gayus. Hal ini menunjukkan bahwa Gayus tidak bekerja sendiri, melainkan kerja sebuah tim. Mustahil seorang Gayus yang pegawai rendahan bisa mengakali kasus pajak sendirian. Pasti ada pejabat yang memback up atau sekedar menutupi sepak terjang Gayus agar tidak bisa tercium oleh pihak lain. Tapi serapi apapun kejahatan disembunyikan, pasti suatu saat akan terrendus juga. Dan kini kesepuluh orang pegawai Ditjen Pajak tersebut telah dinonaktifkan
Tindak cepat Dirjen Pajak, Mochamad Tjiptardo, dalam menonaktifkan para pejabat yang diduga terlibat dalam kasus Gayus (melebihi kecepatan pihak kepolisian dalam menonaktifkan anggotanya) dipuji oleh banyak pihak. Pegawai Ditjen Pajak yang diduga terlibat dan telah dinonaktifkan adalah para pejabat eselon IV (Kepala Seksi) sampai eselon II (Direktur).
Kita mungkin sepakat bahwa dalam melihat dan mengikuti kasus Gayus memunculkan sebuah ironi. Sebagai aparat penegak hukum mestinya menjalankan fungsi dengan sebaik-sebaiknya, bukan malah mengakali sebuah kasus dan menjadikan tersangka dalam kasus tersebut sebagai ‘sapi perahan'. Dalam kasus Gayus ini aparat penegak hukum malah bertindak sebagai makelar yang ujung-ujungnya membuat tersangka bebas dari jeratan hukum. Padahal indikasi korupsi gayus sangat jelas dan terang benderang. Bagaimana tidak? Seorang pegawai negeri sipil golongan III/a dengan masa kerja 10 tahun tapi memiliki kekayaan yang luar biasa banyak. Yang berakal sehat pasti akan mengatakan bahwa kekayaan Gayus diperoleh dari cara-cara illegal mengingat tidak ada bukti yg menunjukkan sebaliknya. Dia bukan pengusaha, bukan pula anak konglomerat (tidak mungkin juga anak konglomerat menjadi PNS).
Maka orang menjadi berprasangka buruk bahwa untuk memanipulasi sebuah kasus pasti tidak gratis. Dan untuk kasus Gayus dengan tingkat resiko kecil (mungkin sempat terpikir oleh para markus saat itu) karena tidak terekspos oleh media dan tidak menjadi perhatian masyarakat, pasti ‘fee'-nya besar, apalagi nilai yang dikorupsi juga besar. Sekarang tugas para penyidik untuk menelusuri aliran dana (termasuk yang diambil tunai) setelah rekening Gayus dibuka. Sebuah tugas yang tidak ringan karena para pelaku adalah orang-orang yang sangat berpengalaman.
Terbongkarnya markus di kepolisian semakin menambah keyakinan publik bahwa mafia hukum benar-benar ada. Lalu yang menjadi pertanyaan adalah kenapa orang yang sudah diserahi tugas menegakkan hukum malah menodai dan merubuhkan hukum itu sendiri? Sebabnya tidak lain adalah mental yang buruk. Mental yang buruk sering karena dipengaruhi lingkungan yang buruk. Lingkungan yang di dalamnya permisif pada korupsi dan kolusi akan membuat orang saling berlomba menumpuk kekayaan, dengan berbagai cara. Prinsip aji mumpung pun dijalankan.
Secara kebetulan tadi sore wartawan TVOne mendatangi rumah Brigjen RE (saya lupa alamatnya). Rumah seorang jendral bintang satu itu terlihat besar dan mewah (dua lantai) dengan dua mobil di garasi. Siapa yang tidak silau melihat ini? Bukan tidak mungkin yang sekarang ini jadi bawahan sang jendral akan bercita-cita serupa (memiliki kekayaan berlimpah) bila sudah di posisi yang sama. Dan lingkaran setan ini akan sampai kapan pun bila tidak diputus dengan tindakan hukum yang tegas.
Akhir kata, bila hukum sudah menjadi barang dagangan, maka tidak ada lagi kewibawaan hukum dan jangan salahkan masyarakat bila tidak lagi hormat pada hukum.