Yang cukup menarik perhatian saya, bahwa hampir semua cerita tersebut menyatakan bahwa cerita tersebut adalah hadist.
Saya sendiri, tentu saja jauh dari kata ahli hadist. Ilmu saya masih sangat sedikit. Namun karena saya meyakini bahwa Islam adalah agama ilmiah, di mana semua yang kita lakukan itu ada landasannya, maka saya sendiri cukup tertarik untuk mencari tahu lebih dalam mengenai hadist tersebut.
Setelah mencoba mencari lebih jauh, saya tidak dapat menemukan sanad dan matan dari hadist tersebut. Yang saya temui hanya cerita dalam Bahasa Indonesia yang dicopy paste dari satu sumber ke sumber yang lain. Namun yang janggal, redaksi dari hadist tersebut tidak seragam. Ada beberapa versi. Namun versi yang paling “meyakinkan” dimulai dengan kata-kata “Dari Muadz bin Jabal dari Ibnu Abbas” (sahabat meriwayatkan ke sahabat?) justru membuat hadist tersebut menjadi meragukan. Bahkan ada versi yang redaksi bahasanya juga cukup lucu untuk ukuran hadist. Namun sekali lagi, karena belum bisa menemukan sanad dan matan dari hadist tersebut, saya mencoba untuk mencari lebih jauh lagi.
Kemudian pencarian tersebut akhirnya sampai pada situs (http://www.islamonline.net/servlet/Satellite?pagename=IslamOnline-English-Ask_Scholar%2FFatwaE%2FFatwaE&cid=1119503547532) yang mengutip satu fatwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (di Majmu Al-Fatawa Al-Kubra pada jilid 18 halaman 350), bahwa hadist tersebut merupakan hadist palsu. Beliau rahimahullah menyatakan bahwa tidak ada satupun kitab hadist yang memuat cerita ini.
Beliau rahimahullah juga menambahkan, bahwa hadist tersebut tampak meyakinkan karena memang mengutip sebagian redaksi dari hadist-hadist yang shohih. Dan ada juga redaksi yang diambil dari hadist-hadist yang dhoif dan juga palsu.
Namun hal yang paling penting dalam fatwa tersebut adalah, pertemuan antara Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa-sallam dan Iblis dalam cerita tersebut tidak pernah terjadi. Karena hadist itu tidak ada asal usulnya.
Hal ini menjadi penting, karena dalam cerita tersebut digambarkan sifat dan akhlak dari Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa-sallam dan Iblis, yang tentu saja tidak boleh kita yakini mengingat hadist tersebut adalah hadist palsu. Sepemahaman saya, hadist yang lemah pun tidak bisa dijadikan landasan, apalagi hadist palsu.
Barangkali nanti akan ada pendapat bahwa namun dalam cerita tersebut banyak pesan-pesan yang bisa diambil, maka pendapat saya (menurut pemahaman saya) adalah, cukuplah hadist-hadist shahih saja yang kita jadikan pegangan hidup. Untuk apa kita menjadikan hadist palsu sebagai pegangan hidup, walau isinya seolah mengajak kepada kebaikan.
Apa lagi jika nanti ada yang menyebarkan hadist ini ke mana-mana dengan menyatakan bahwa hadist ini shahih, maka cukuplah diingatkan dengan hadist yang mulia:
من كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النار
“Barang siapa yang sengaja berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaklah ia mengambil tempat tinggalnya di neraka.” (HR. Bukhari juz 1 dan Muslim juz 1). Hadist ini mutawattir (diriwayatkan dari banyak jalan).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam fatwa yang telah disebutkan sebelumnya juga menyatakan bahwa barangsiapa yang telah mengetahui bahwa hadist ini palsu, dan masih menyebarkannya, maka dia termasuk orang yang berdosa.
Bagi siapa saja yang mengetahui bahwa hadist ini tidak palsu, silakan dishare ke saya, untuk pembelajaran saya pribadi dan juga yang lain.
Semoga Allah memberi taufik pada kita.
Abu Salman As-Syitaa’