Hubungan asmara merupakan bentuk saling mengenal serta saling menguntungkan satu sama lain (kolaboratif). Hubungan tersebut selayaknya diisi dengan interaksi positif dan tidak mengekang. Hubungan asmara sebuah langkah awal untuk menemukan keharmonisan serta membangun cinta. Dalam menjalin hubungan, hal yang mendesak untuk digunakan adalah logika. Logika akan memandu kedua insan untuk mencapai tujuan utamanya (kebenaran).
Mungkin diantara kita sering mendengar atau bahkan melihat seorang suami yang mematok (memutlakkan) bahwa istri itu tempatnya di rumah saja, istri itu cukup melayani suami di dapur maupun di ranjang. Saking seringnya kita dengar dan kita lihat, hal tersebut mungkin dianggap wajar (dinormalisasi). Rumah layaknya penjara, ketika keluar mendapat sanksi. Seperti yang sering digaungkan, bahwa ketika perempuan keluar rumah maka sanksinya adalah banyak setan yang mengganggu.
Pola pikir seperti ini adalah manifestasi dari sistem patriarki yang telah mengakar dalam masyarakat, di mana laki-laki dianggap sebagai penguasa dan perempuan ditempatkan pada posisi subordinat. Dalam konteks hubungan asmara, patriarki sering kali muncul melalui kontrol berlebihan yang dilakukan oleh pihak laki-laki, baik dalam hal kebebasan fisik maupun emosional perempuan.
Patriarki dalam hubungan asmara dapat terlihat jelas ketika pria menuntut perempuan untuk mematuhi norma-norma gender yang kaku, seperti menjadi "istri ideal" yang hanya fokus pada urusan domestik. Hal ini tidak hanya membatasi peran perempuan dalam ruang privat (seperti di rumah), tetapi juga menghalangi partisipasi mereka dalam ruang publik, seperti karier atau pengembangan diri di luar rumah tangga.
Normalisasi dari peran yang kaku ini menimbulkan ketidakadilan gender yang sering kali tidak disadari, baik oleh pria maupun perempuan itu sendiri. Banyak perempuan yang akhirnya merasa tidak memiliki pilihan lain selain menerima dan menjalani peran tersebut, meskipun mereka mungkin memiliki aspirasi atau keinginan yang lebih luas di luar peran domestik yang diberikan oleh pasangan atau masyarakat.
Patriarki juga bisa menciptakan hubungan asmara yang timpang, di mana keputusan-keputusan besar dalam kehidupan pasangan lebih sering diambil oleh laki-laki, sementara perempuan terpaksa tunduk dan mengikuti. Kondisi ini berpotensi menciptakan hubungan yang tidak sehat, karena tidak ada kesetaraan dan tidak ada ruang bagi perempuan untuk mengekspresikan dirinya secara bebas.
Untuk mencapai hubungan asmara yang sehat dan harmonis, penting untuk menantang norma-norma patriarki yang merugikan tersebut. Kedua pihak harus menyadari bahwa cinta dan komitmen dalam sebuah hubungan tidak seharusnya menjadi alasan untuk membatasi kebebasan satu sama lain. Justru sebaliknya, hubungan yang baik adalah hubungan yang saling mendukung pertumbuhan individu, di mana baik laki-laki maupun perempuan diberi ruang untuk berkembang tanpa harus terperangkap dalam peran-peran gender tradisional yang mengekang.
Kesetaraan gender dalam hubungan asmara tidak berarti menghapus perbedaan antara laki-laki dan perempuan, tetapi lebih pada memastikan bahwa keduanya memiliki hak dan kesempatan yang sama dalam berbagai aspek kehidupan, baik itu dalam urusan rumah tangga maupun dalam karier dan sosial. Ketika kesetaraan ini tercapai, hubungan asmara akan lebih sehat, saling mendukung, dan lebih berkelanjutan dalam jangka panjang.
Selain itu, patriarki dalam hubungan asmara juga sering kali dikaitkan dengan kekerasan, baik fisik maupun emosional. Kekerasan ini mungkin tidak selalu berupa kekerasan yang terlihat jelas seperti pukulan atau kata-kata kasar, tetapi bisa muncul dalam bentuk manipulasi, kontrol berlebihan, atau gaslighting---di mana satu pihak (biasanya laki-laki) meremehkan perasaan atau pengalaman perempuan hingga membuat mereka meragukan diri sendiri. Fenomena ini memperkuat posisi dominan laki-laki dan mempertahankan perempuan dalam posisi inferior, sehingga sulit bagi perempuan untuk keluar dari lingkaran ketidakadilan tersebut.
Patriarki dalam hubungan asmara juga menghalangi komunikasi yang sehat. Ketika satu pihak merasa memiliki kekuasaan lebih besar daripada yang lain, dialog yang seharusnya bisa berlangsung secara setara dan terbuka menjadi tidak mungkin. Dalam hubungan yang patriarkal, suara perempuan sering kali dibungkam atau tidak dihargai, yang berujung pada perasaan frustrasi, keterasingan, dan ketidakpuasan dalam hubungan. Sebaliknya, hubungan yang sehat membutuhkan ruang bagi kedua belah pihak untuk berbicara, didengar, dan memahami satu sama lain tanpa rasa takut atau intimidasi.
Sistem patriarki ini juga mempengaruhi bagaimana perasaan cinta dan kasih sayang diekspresikan. Banyak laki-laki yang dibesarkan dalam budaya patriarki diajarkan untuk tidak menunjukkan kelembutan atau emosi mereka, karena dianggap sebagai tanda kelemahan. Hal ini menyebabkan ketidakseimbangan dalam dinamika hubungan, di mana perempuan diharapkan menanggung beban emosional yang lebih besar, sementara laki-laki sering kali mengabaikan pentingnya keterbukaan emosional dalam membangun ikatan yang mendalam. Akibatnya, hubungan menjadi kering dan kehilangan kedalaman emosional yang diperlukan untuk mempertahankan keintiman.
Untuk membongkar fenomena patriarki dalam hubungan asmara, perlu adanya kesadaran kolektif bahwa pola-pola hubungan yang didikte oleh sistem patriarki tidak hanya merugikan perempuan, tetapi juga laki-laki. Laki-laki pun menjadi korban dari harapan-harapan yang tidak realistis dan tekanan untuk terus-menerus menjadi figur yang dominan dan "kuat," tanpa ruang untuk rentan atau meminta dukungan. Kesadaran ini harus diikuti dengan upaya aktif untuk membangun hubungan yang lebih setara, di mana baik laki-laki maupun perempuan dapat saling berbagi peran dan tanggung jawab secara adil, serta merasakan kedekatan emosional yang tulus tanpa terikat oleh stereotip gender.
Pada akhirnya, menciptakan hubungan asmara yang terbebas dari patriarki membutuhkan komitmen untuk terus-menerus mengevaluasi dinamika kekuasaan dan peran gender yang ada. Ini bukanlah sesuatu yang bisa dicapai dalam semalam, tetapi melalui komunikasi terbuka, saling menghargai, dan empati, pasangan bisa bersama-sama membangun hubungan yang lebih sehat, setara, dan penuh cinta.