Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Atas Nama Nurani

14 Februari 2014   01:22 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:50 67 0
Saya buka tulisan ini dengan nasehat yang disampaikan oleh Syaikh Muhammad Az Zabidy kira-kira lebih dari tiga tahun silam (beliau salah seorang ulama kenamaan di negri yaman) ketika saya bertanya kepada beliau tentang kondisi masyarakat yaman pada waktu terjadi kekacauan politik di sana kala itu. Beliau menyatakan :

أنا لست سياسيا ولكن ينبغي علينا أن نعرف الحالة التي نعيش فيها

"Saya bukan seorang politikus, akan tetapi selayaknya kita mengetahui kondisi sekitar kita yang kita hidup di dalamnya".

Saya menulis atas nama nurani dan suara hati saya sebagai manusia normal. Meski saya sadar dengan sesadar-sadarnya, bahwa saya hanya salah satu dari sekian banyak hamba Allah yang berlumuran dosa.

Namun demi Allah kesaksian ibu wali kota surabaya telah meluluh-lantakkan ketegaran saya sebagai seorang lelaki.

Beliau mengisahkan kesaksian tentang rencana penutupan lokalisasi terbesar di asia tenggara. Dan mengaku pernah didatangi 20 orang kyai yang menuntut agar lokalisasi tersebut ditutup.

Namun beliau tidak menyetujuinya kala itu, dengan alasan para wts itu adalah tulang punggung keluarga. Siapa yang akan menanggung makan keluarga dari para wts yang berjumlah lebih dari seribu orang itu.

Demikianlah pemikiran beliau kala itu. Setelah berlalu beberapa masa hingga Allah menghendaki untuk mengubah jalan pikiran wali kota surabaya ini.

Beliau menerima kasus prostitusi anak dan bertekad untuk menelusuri penyebab terjadinya kasus ini. Lalu bersegera menyambangi keluarganya, lingkungannya. Bahkan terjun langsung mengajar di sekolah dimana si anak menimba ilmu di sana yang berdekatan dengan lokalisasi raksasa itu.

Hinga beliau menyaksikan sendiri remaja berusia belasan tahun yang banyak sekali menjadi korban prostitusi yang mengalami depresi hebat.

Ketika sedang memberikan pengarahan terhadap anak-anak itu. Satu anak terjatuh pingsan, dua, tiga dan seterusnya. Setiap kali ke sekolah beliau senantiasa membawa serta tenaga psikolog untuk menenangkan dan memberi motivasi anak-anak ini.

Hingga pada bulan ramadhan beliau mengundang para mucikari untuk makan di kediaman beliau. Tersebutlah seorang wanita tua berusia 60 tahunan.

Dia berteriak keras ketika menerima nasehat dari ibu wali kota : Saya sebenarnya memiliki niat untuk berubah, tapi pemerintah selalu saja bohong. Katanya mau memberi bantuan ini itu tapi nyatanya nol besar.

Begitu kira-kira teriakan sang ibu tua yang memang sudah sepuh itu. Ibu wali kota lantas bertanya tentang apa yang dibutuhkan oleh sang ibu tua yang malang itu. Dan beliau berjanji akan membantunya.

Singkat cerita ibu wali kota berkunjung ke rumah sang nenek tua yang hanya berukuran 2x2 M. Beliau melunasi semua hutang nenek itu. Mencukupi kebutuhannya, dan bertanya mengapa sekian puluh tahun bekerja tapi masih saja hidup disebuah ruangan sempit berukuran 2x2M.

Sang nenek menuturkan bahwa uangnya habis untuk beli baju, make up dan lain sebagainya. Sehingga sampai setelah mengalami masa tua pun beliau masih dikungkung oleh kemeleratan.

Hingga pada akhirnya ibu wali kota bertanya dengan dua pertanyaan yang membuat saya (penulis) tidak mampu menahan linangan air mata begitu mendengar jawaban dari sang nenek. Saya menangis terisak-isak seorang diri di dalam kamar mendengar kenyataan pahit ini.

Kenyataan yang tidak pernah terbersit barang setitik pun di benak saya sebelumnya. Saya benar-benar tidak mengira kenyataan ini memiliki wujud di dunia ini.

Hingga angan saya tidak lagi sanggup untuk sekedar membayangkan jawaban sang nenek sepuh. Hati kecil saya sebagai manusia normal tercabik-cabik, luluh lantak tidak karuan.

Ibu wali kota mengajukan pertanyaan setelah sebelumnya meminta maaf pada sang nenek kalau-kalau pertanyaan beliau menyinggung perasaan. Beliau bertanya : Sejak kapan anda menjadi wts ?

Sang nenek menjawab : Sejak usia 19 tahun.

Lantas ibu wali kota melontarkan pertanyaan kedua : Anda sudah sesepuh ini masih menjadi wts, lantas apakah masih ada yang mau menjadi pelanggan anda ???

Dengarkan wahai kawan,

Dengarkan wahai hamba Allah yang masih bisa mendengar,

Dengarkan wahai manusia yang masih memiliki setitik nurani di dalam hatinya,

Dan saya tidak mengatakan setitik iman,

Karena setitik nurani sudah mencukupi untuk merasakan betapa pahitnya kenyataan yang selama ini tersembunyi di balik praktek prostitusi.

Sang nenek sepuh bertutur : Pelanggan saya adalah anak-anak SD dan SMP. Karena mereka memang hanya memiliki uang dua ribu, lima ribu untuk membayar saya.

Emosi saya teraduk-aduk mendengar jawaban sang nenek sepuh, air mata saya berlinang deras. Saya sesenggukan di kamar seorang diri begitu mendengar jawaban polos dari seorang nenek sepuh pelaku praktek prostitusi yang menyingkap sisi hitam yang mengerikan di balik nama megah lokalisasi terbesar di asia tenggara.

Kita tidak sedang berbicara agama, kita tidak sedang berbicara syurga dan neraka. Kita tidak sedang berbicara mencari makan, kita tidak sedang berbicara tentang sesuap nasi. Namun kita sedang berbicara tentang nurani kita sebagai seorang manusia.

Bayat, 14 rabi'ul akhir 1434H/14 ferbuari 2014M
abul aswad al bayaty

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun