Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Pemulung, Pengemis dan Pejabat yang Terhormat?

29 Januari 2021   23:59 Diperbarui: 30 Januari 2021   01:45 466 8
Oleh : Abu Al-Givara

Dimasa-masa awal kemunculan Virus Korona pada bulan februari 2020 lalu, begitu banyak korban yang terpapar, bahkan tiap hari telinga selalu disuguhkan oleh angka-angka positif dan berita-berita kematian karenanya.

Peristiwa pahit itu kemudian merubah wajah kota makassar. Jalan kota yang dahulu ramai dan sering kali macet, kemudian berbalik sepi menampakan wajah kesunyian. Disekitaran jalan Fly Over Makassar, tak ada lagi kepadatan di lampu merah, kebisingan suara kendaraan beroda tak terdengar seperti hari sebelumnya.

Dihadapan mata, yang terpotret adalah para pemulung, pengemis dan penjual koran jalanan lainnya yang sedang berlalu lalang di sudut-sudut kota mencari sesuap nasi untuk sanak saudaranya. Tak sedikit darinya memancarkan wajah  murung, letih, lesu dan aura putus asah lainnya. Mungkin saja, terik matahari melumpuhkan semangatnya,  atau karena rezekinya ikut terlahap karena rakusnya korona.

Saat berjalan disekitaran Losari, waktu itu kebetulan lagi antar surat undangan narasumber dialog Lapar Sulsel, untuk bapak PJ. Walikota yang terhormat. Mengantarnya di Kantor Balai Kota, atas intruksi Protokoler Pak PJ, yang sedang bertugas mendampingi Gugus Tugas Covid 19 di Kantor Balai. Di sudut-sudut jalan terlihat seorang Ibu berkerudung coklat sedang meneteskan airmata, tak henti desiran tangis mengalir basahi pipinya. Entah apa yang ibu itu tangisi. Mungkin karena sampah-sampah orang kaya tidak lagi mengotori jalan kota, yang membuat ibu pemulung itu kian sulit mencari nafkah lagi.

Sayapun terbius larut dalam tangisan itu, mata ikut meleleh seakan turut merasakan sedihnya. Niat menyambanginya terhenti karena merasa jangan sampai jusgeru mengusik, dan merasa kedatanganku tak akan merubah segalanya dari nasibnya. Sayapun terus berjalan menuju balai kota sembari mengendap rasa darinya.

Setelah bertemu dengan Protokol, tak berlama-lama langsun beranjak pulang. Sampai di sekitaran Lampu merah Mall Karebosi, melihat orang tua paruh baya sedang memegang koran jualannya. Ia berjualan di lampu merah namun tak pernah menyambangi kendaraan yang berhenti, ia terus duduk dengan badan murung dan menundukan kepala. Kebetulan pas lampu merah, saya meletakan motor di sudut jalan pas perempatan, kemudian menghampirinya dengan niat membeli korannya. Saat itu, beliau jual sekitaran 3000 rupiah perkoran. Kebetulan di kantung celana saya ada selembar uang 10.000, uang itulah yang dipergunakan untuk membeli korannya. Sisa koran yang pak tua pegang itu tinggal dua dan saya membeli keduanya dengan niat tak msngharap kembaliannya. Namun tak menyangka, pak tua itu ngotot meberikan kembalian, sekalipun saya enggan menerima. Biasanya orang membutuhkan akan mengambilnya.

Sesampai di kantor Lapar Sulsel, saya kembali merenungi beberapa perjumpaan dengan orang-orang yang kerap kali tak pernah dianggap dan dihargai oleh banyak masyarakat . Mereka yang selalu di labeli mengotori kota, mereka yang tak jarang di usir kekuasaan menggunakan satuan Polisi Pamong Praja karena dianggap mengganggu keindahan kota.

Pengalaman pintas itulah yang memberikan pemahaman luar biasa, memberikan pelajaran bagaimana cara kita memandang kehormatan seseorang, bahwa orang terhormat tidak di lihat dari penampilan, status sosial dan kekayaannya, melainkan perilakunya yang tangguh dsn tidak serakah meski tak punya apa-apa.

Dari pengalaman perjumpaan itu, terlintas dipikiran untuk menyandingkan orang-orang di sudut jalan itu dengan para pejabat rakyat yang selama ini di hormati meski jarang menyantuni rakyatnya. Pembandingan itu terbesit dikepala karena memang pada awal bulan sebelum ada wabah covid, sedang-gencarnya melakukan konsolidasi penolakan Omnibus Law yang sedang di rancang para pejabat DPR.

Pemulung, pengemis dan termasuk penjual koran jalanan lebih mulia dan terhormat dibandingan para pejabat. Mereka tetap sabar mensiasati kehidupan dengan tegar tiap harinya dengan hanya bermodal harapan, meski kadang harapan itu tak kunjung mereka jumpai. Mereka terus bertahan memulung, mengemis, dan menjual meski kadangkala hanya menerima teguran dan tawaan, bukan uang dan penghidupan.

Tiap hari mereka jalani secara konsisten dengan caranya menyambung penghidupan, meski tak seperti pejabat yang tiap bulan gajian meski tak kerja berhari-hari, yang jika menindas semakin besar pula puing-puing modal mereka kumpulkan. Tak seperti para pejabat yang selalu merasa kurang dan tak pernah puas, yang kerap kali marah ketika gaji bulanan datang terlambat dan yang tak jarang menuntut kenaikan gaji bulanan maupun tunjangan.

Para pemulung, pengemis dan penjual koran jalanan sesungguhnya lebih mulia hidupnya karena tak pernah memeras, memaksa apalagi menindas, mereka tak pernah merampok harta orang lain, tak pernah membuat orang lain menderita. Kemuliaannya karena mereka lebih memilih bertahan hidup dalam kesengsaraan ketimbang hidup sejahterah dengan jalan merampas kebahagiaan hidup orang lain.

Namun mata dunia tak pernah melihat kehormatan itu pada mereka, bahwa kehormatan menurutya ketika beruang dan berstatus pejabat. Sungguh tidak adil bagi orang-orang kecil walau begitu baik dan mulia. Mata dunia hanya memandang harta dan tahta bukan yang lain.

Namun ia tak kekal, kejamnya mata dunia kan terbalas dengan mata hati sang kuasa Pencipta. Serta orang-orang mulia dan terhormat kan langgeng bahagia di hadapannya, dan kecelakaan kekal baginya yang telah rakus akan kehormatan duniawi, yang selalu mengejar tahta memupuk harta, yang sedikitpun enggan melirik jelata.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun