Setelah menyelesaikan umrah kini tinggal menunggu waktu pelaksanaan hari ‘H’ prosesi pelaksanaan ibadah haji. Di masa-masa ini memperbanyak ibadah mendekatkan diri kepada Sang Khalik. Sebisa mungkin sholat lima waktu di Masjidil Haram, tadarus Al Qur’an atau membaca kembali buku-buku manasik haji.
Di samping itu melakukan silaturrahim dengan sanak famili, kerabat, teman lama, kenalan, tetangga sekampung maupun kerabat teman -teman di Qatar. Beberapa jamaah sengaja memberangkatkan orang tua atau mertua mereka untuk berhaji dari Indonesia. Mereka bersua di tanah suci yang begitu indah. Pertemuan antara orang tua dan anak yang sekian lama terpisah oleh jarak dan waktu dan Masjidil Haram seisinya mejadi saksi. Ya…. Rabb, ingin rasanya hambamu ini berhaji bersama orang tua yang kami cintai. Bersama orang-orang yang kami cintai.
Melewati sebuah toko emas di pojok Masjidil Haram teringat daku kepada ibuku nan jauh di sana. Langsung kutelpon dan “Assalamualaikum, piye kabare… Apik,.. mbok sampeyan tak tukokno kalung gandul ka’bah ya..?. “emoh aku isin kanggo kalung wong wis tuwek, tukokna ali-ali wae ya… “ha......ha.....ha........iya tak tukokno. Engko tak titipno Pak carik ya” iya… sing ati-ati ojo lali dongakno aku, bapakmu lan dulurmu kuabeh…” Insya Allah ...….Assalamualaikum".
Dari logatnya pembaca pasti tahu kalau saya orang Jawa Timur asli. Rata-rata orangJjawa Timur berbahasa Jawa ngoko meskipun sama orang tua sendiri. Ehm puas rasanya. Terbayang sudah kebahagian di wajah tua yang sudah mengeriput. Ibu mertua juga saya belikan yang sama dan kutitipkan kepada kerabat dekatnya.
Karena rata-rata jamaah dari Qatar bisa berbicara Bahasa Arab seringkali jamaah membantu jamaah haji Indonesia yang tersesat. Tak jarang kami mengantarkan sampai ke pondokan dengan menyewa taksi. Ada rasa iba apabila melihat jamaah dari Indonesia apalagi yang sudah sudah udzur tersesat. Teringat bagaimana dulu ketika kedua orang tauaku melaksanakan haji 7 tahun yang lalu. Ya Allah…… puji syukur alhamdullah aku panjatkan ke hadiratMu. Di saat umur masih muda, tubuh masih perkasa Engkau memberi kesempatan untuk memenuhi PanggilanMu. Berhaji adalah ibadah fisik. Seperti melakukan napak tilas perjalanan sejarah Nabi Adam AS dan Nabi Ibrahim AS.
Perjalanan haji tahun itu begitu istimewa karena Ketua Persatuan Masyarakat Indonesia Qatar, Pengusaha Indonesia di Qatar, Pak Dubes dan Pak Mantan Dubes berkumpul di tanah suci. Acara ramah tamah dengan pak Dubes juga diselenggarakan penuh dengan kekeluargaan. Nah, dalam pertemuan itu terungkap kisah “kamar barokah”. Kamar ini kalau tertuliskan “Tahalul On Going” berarti sedang berlangsung aktifitas di dalamnya. Terbongkarnya kisah ini malah membuat ibu-ibu tersipu malu yang akhirnya menurunkan libido mereka.
Pada 8 Dulhijjah jamaah meninggalkan hotel untuk bermalam (mabit) di Mina sebelum matahari terbenam. Keseokkan hari setelah sholat subuh berangkat wukuf ke padang Arafah. Tempat yang diyakini di mana Nabi Adam AS dan Siti Hawa bertemu setelah terusir dari syurga. Seluruh permukaan padang Arafah tertutup warna putih baju ihram. Semua tunduk berserah diri di hadapan Illahi sang pemilik Hidup. Semua terlelap dalam dzikir dan doa di tempat yang mustajab ini.
Selepas maghrib jamaah menaiki bis untuk menuju Mudhalifah dan bermabit di sana. Setiap jalan dipenuhi kendaraan sehingga padat merayap. Untung kami mempunyai sopir yg berpengalaman yang mengambil shortcut dan sebelum tengah malam tiba di tujuan. Setelah memilih lokasi untuk bermabit, bapak-bapak berburu kericil kecil untuk melempar jumrah. Jamaah menggelar tikar plastik dan tidur beratapkan langit yang berbintang-bintang. Meski lirih tasbih, tahlil dan tahmid, takbir terus bergema dalam hati sampai mata terlelap kemudian lam jatuh dalam sunyi dan hening.
Menjelang subuh kami bangun dan bergerak menuju lokasi lempar jumrah. Tempat di mana Nabi Ibrahim AS melempar batu kepada syaitan-syaitan yang mengganggu memenuhi perintah Allah. Lelakon ini bisa dimaknai hendaknya manusia berperang melawan kejahatan, kejelekan, kemungkaran dan kesesatan atau melepaskan atribut syaitan pada dirinya.
Suara adzan subuh menghentikan langkah kami di perjalanan untuk melaksanakan sholat. Dari Mudhalifah ke tempat lontar jumrah melewati depan kemah Kafilah Qatar di Mina. Jamaah mampir untuk sekedar membersihkan diri dari kotoran. Setelah bugar kembali jamaah menuju ke tempat pelemparan jumrah dengan berjalan kaki. Seluruh jalan penuh sesak dan padat merayap. Gema dzikir jutaan manusia bergema seolah menembus langit dan membuka cakrawala.
Setelah melakukan lontar jumrah jamaah bergegas menuju Masjidil Haram untuk thawaf haji, sa’i dan bertahalul. Jalan ke Haram di hari itu sangat padat sehingga baik berjalan kaki maupun yang naik kendaraan perlu perjuangan tersendiri. Prosesi thawaf, sa'i, tahalul selesai jamaah dihalalkan memakai pakaian yang berjahit dan urusan suami istri. Rombongan kami berlomba menuju kembali ke hotel. Di antara kami sudah ada komitmen “first come has the right” untuk beristirahat.
Sebelum matahari terbenam kembali melempar jumrah dan bermabit di Mina. Tanggal 11 Dulhijjah setelah matahari tergelicir jamaah meninggalkan kemah dan kembali melempar jumrah kemudian pulang ke hotel. Esok harinya melakukan Thawaf Wada dan setealh dhuhur melakukan perjalanan ke Madinah.
Sudah tiga kali saya pergi ke tanah suci tiga kali pula kami melakukan perjalanan Mekkah - Madinah. Setiap menempuh perjalanan yang jaraknya kurang lebih 450 km ini hati saya selalu teringat masa hijrahnya Rasulullah 1431 tahun yang lalu. Membayangkan perjuangan manusia terpilih menegakkan ajaran Allah menjelajahi gunung batu nan terjal dari kejaran kaum yang menolak Islam. Ya Allah, betapa beratnya perjuangan itu. Kami yang terlelap dalam bis berAC menempuh perjalanan itu masih dihinggapi rasa lelah, masih berkeluh kesah, masih sering protes atas ketetapanMu. “Ya Rabb ampunilah hambaMu ini….”