Kusadari sekarang. Wonderland tambah menciut. Siluet gunung dari kejauhan yang dulu masih terlihat dari sini, dihadang tegas oleh konstruksi lantai baru. Angin pun sepertinya ogah-ogahan untuk mampir menyapa pohon ketapang yang sedari tadi hanya terpaku kaku tanpa ekspresi. Di bawah, di lapangan sempit persilangan lapangan basket dan voli itu, anak-anak bermain – lebih cocok kalau dikatakan berebutan – bola plastik. Koridor yang mengitari lapangan, tampak ramai oleh lalu lalang anak-anak, maklum jam istirahat pertama. Dari lantai dua ini, mereka cenderung terlihat monoton dengan warna-warna hijau dan putih yang mereka pakai. Sama dengan yang kupakai sekarang. Ah, Wonderland mulai membuatku bosan. Apalagi saat bel bernada tunggal itu meraung-raung dengan cueknya. Dan selalu sama seperti biasa, nada tunggal yang meraung-raung tak peduli itu memicu ingatan bawah sadar anak-anak Wonderland dan seakan-akan memerintahkan kaki-kaki mereka untuk segera memasuki kelas.