Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan

Selamat Datang Koridor Ekonomi Lokal Indonesia

25 Maret 2013   11:44 Diperbarui: 24 Juni 2015   16:15 282 0

ABU AKRAM

Wiraswasta, tinggal di Bandung

Pengantar

Mckinsey Global Institute (2012) pernah merilis laporan mengenai masa depan Indonesia. Dalam rilisnya, lembaga ini optimis pada tahun 2030 kondisi ekonomi Indonesia berada di peringkat tujuh besar dunia. Optimisme tersebut didasari atas analisis McKinsey melihat indikator ekonomi makro Indonesia sejak tahun 2000-2010. Kondisi ekonomi dalam 10 tahun terakhir menunjukkan pertumbuhan riil rata-rata Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 5,2%, rasio utang terhadap PDB 25%, serta inflasi rata-rata berada di bawah 10%. Namun demikian, McKinsey menyebutkan hal tersebut bisa tercapai kalau Indonesia fokus pada tiga sektor yaitu penguatan sektor pertanian dan perikanan, jasa konsumen, dan sumber daya alam. Ketiga fokus tersebut syaratnya harus didukung oleh sumber daya manusia terampil dengan latar belakang pendidikan sesuai kebutuhan lapangan kerja.

Masalah yang terjadi seperti kurang selarasnya dunia pendidikan dan dunia kerja akan sangat berpengaruh bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Sebagai gambaran kita bisa menganalisis dari besarnya jumlah orang yang bekerja di sektor informal. Berdasarkan data BPS pada Februari 2012 jumlahnya sebesar 62,7% dari 112 juta orang. Mengutip pendapatnya Ninuk (2012), tingginya jumlah pekerja sektor informal mengindikasikan sejumlah hal terutama keterbatasan lapangan kerja, rendahnya tingkat keterampilan pekerja, dan atau tidak cocoknya pendidikan dan keterampilan yang dimiliki dengan yang dibutuhkan pasar tenaga kerja. Ninuk melanjutkan, mereka yang tidak dapat masuk ke sektor formal akan terpaksa melakukan pekerjaan apa saja untuk dapat bertahan hidup dan dengan sendirinya akan ditampung di sektor informal.

Melihat kondisi di atas, dalam tulisan ini dibahas mengenai upaya menyelaraskan dunia pendidikan dan dunia kerja dengan mengoptimalisasikan potensi lokal. Upaya tersebut tentunya menjadi tanggung jawab bersama. Namun demikian, andil besar ada di tangan pemerintah pusat dan daerah selaku penyelenggara negara.

Kebijakan Pemerintah

Perkembangan otonomi daerah di Indonesia telah membuka ruang optimalisasi potensi lokal yang lebih baik dibanding sebelumnya. Ruang tersebut dimanfaatkan oleh pemerintah daerah yang kini diberikan kewenangan lebih luas dalam mengelola wilayahnya, salah satunya dalam bidang pendidikan. Otonomi pendidikan diharapkan menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas dan mampu memanfaatkan potensi sumber daya lokal di daerah. Dengan kata lain, peluang untuk mengatasi masalah seperti meningkatnya pengangguran terbuka ataupun minimnya lapangan pekerjaan bisa diatasi apabila pemerintah daerah mampu membuat kebijakan yang melibatkan dan menampung kepentingan lembaga pendidikan dan pihak dunia kerja. Kebijakan tersebut diharapkan mampu menyelaraskan masalah kesenjangan yang terjadi antara dunia pendidikan dan dunia kerja.

Menyadari akan potensi yang dimiliki daerah, pemerintah pusat telah mengeluarkan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Indonesia (MP3EI). MP3EI melakukan terobosan pembangunan berbasis koridor ekonomi di masing-masing pulau besar. Pembagian koridor tersebut yaitu sebagai berikut :

1)Pulau Sumatra : Sentra produksi dan pengolahan hasil bumi dan lumbung energi nasional;

2)Pulau Jawa : Pendorong industri dan jasa nasional;

3)Pulau Kalimantan : Pusat produksi dan pengolahan hasil tambang dan lumbung energi nasional;

4)Pulau Sulawesi : Pusat produksi dan pengolahan hasil pertanian, perkebunan, perikanan, migas dan pertambangan nasional;

5)Pulau Bali dan Nusa Tenggara : Pintu gerbang pariwisata dan pendukung pangan nasional;

6)Pulau Papua dan Kepulauan Maluku : Pusat pengembangan pangan, perikanan, energi, dan pertambangan nasional.

Strategi pembangunan berbasis koridor ekonomi di atas menggunakan pendekatan pengembangan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi yang ada di wilayah. Dengan pendekatan tersebut, potensi dan keunggulan daerah yang ada di masing-masing wilayah bisa terus digali dan ditingkatkan. Ketimpangan spasial pembangunan antar daerah pun secara berkesinambungan dapat terus diperbaiki.

Menurut penulis, Indonesia kini memasuki fase kemandirian nasional yang sesungguhnya. Fase dimana negara menyadari bahwa pemanfaatan sumber daya harus digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat melalui optimalisasi potensi lokal dan desentralisasi kebijakan.

Meningkatkan Keselarasan

Pada tahun 2008, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) bekerja sama dengan Provinsi Gorontalo meresmikan lembaga pendidikan bernama Politeknik Gorontalo. Politeknik yang mempunyai visi menjadi perguruan tinggi berbasis teknopreneur yang unggul dalam pendidikan dan penerapan IPTEK ini diharapkan mampu menghasilkan lulusan yang profesional di bidang iptek khususnya di bidang teknologi perjagungan. Sebagaimana kita ketahui, Gorontalo terkenal sebagai daerah produksi jagung di Indonesia. Pendirian lembaga pendidikan ini merupakan upaya untuk menyelaraskan dunia pendidikan dan dunia kerja. Alumninya diharapkan bisa membuka lapangan pekerjaan dan mampu mengoptimalkan potensi pertanian. Di sisi lain, keterampilan yang mereka miliki juga akan mendorong pertumbuhan ekonomi karena bisa merekrut tenaga kerja.

Contoh lainnya adalah industri pertekstilan di Bandung. Menjadi semakin menggeliat tatkala pemerintah gencar mempromosikan ekspor produk Indonesia. Detik Finance (23/3) pernah mengulas tentang kegiatannya mengunjungi salah satu perusahaan tekstil di Jalan Mohammad Toha Bandung. Setiap tahunnya, perusahaan tersebut memproduksi 50 juta meter kubik kain dengan sasaran 70% pasar ekspor. Omsetnya pun tak tanggung-tanggung, pada tahun 2012 tembus hingga $50 juta. Popularitas Bandung sebagai pusat tekstil memang diakui tidak hanya untuk level nasional tapi juga regional. Potensi tersebut kiranya harus dimaksimalkan oleh pemerintah ataupun pihak swasta untuk membuka lembaga pendidikan khusus pertekstilan. Bagi perguruan tinggi yang sudah mapan, pendirian jurusan baru di bidang tekstil akan sangat prospektif melihat potensi lokalnya yang semakin maju pesat. Kalau melihat fakta selama ini, lembaga pendidikan formal seperti SMK tekstil, STT Tekstil, dan AITB, masih kalah pamor dibandingkan sekolah dan kampus lain yang ada di Bandung. Selain karena kuotanya yang sangat sedikit, promosinya pun sangat kurang.

Beberapa upaya yang menurut penulis perlu dilakukan adalah :

1.Peningkatan jumlah lembaga pendidikan sesuai dengan potensi daerahnya masing-masing perlu menjadi agenda semua pihak, khususnya pemerintah pusat dan daerah. Upaya tersebut diperluas tidak hanya untuk jenis pendidikan formal namun juga nonformal dan informal.

2.Mergerisasi lembaga pendidikan yang kurang peminat. Penggabungan lembaga pendidikan oleh pemerintah bertujuan untuk mengefektifkan tujuan dari pendidikan itu sendiri. Harus diakui banyaknya lembaga pendidikan ternyata menghasilkan dampak negatif bila dari sisi kualitasnya kurang memadai. Pilihan lembaga pendidikan yang “hidup enggan mati tak mau” ini harus digabungkan dengan putusan diambil alih oleh pemerintah atau bekerja sama dengan pihak swasta.

Ada pengalaman menarik ketika tahun lalu penulis mengunjungi Kabupaten Sorong Selatan di Papua Barat. Dalam struktur masyarakatnya, kelompok adat mempunyai peranan penting dalam pengambilan keputusan. Karena posisinya tersebut, pada tahun 2012 pemerintah setempat mengalokasikan anggaran sebesar Rp 12 Miliar. Dana tersebut lebih besar dibandingkan alokasi di bidang pertambangan, kehutanan, sosial maupun ketahanan pangan. Besarnya anggaran terfokus kepada masyarakat adat yang tersebar di puluhan distrik (kampung). Selain dari APBD, mereka juga mendapat dana otonomi khusus sebesar Rp 70 Miliar. Kedua dana tersebut mayoritas dikucurkan kepada masyarakat (kelompok atau individu) melalui bantuan langsung tunai.

Dari pengamatan penulis, metode pemberdayaan masyarakat melalui bantuan langsung tunai (BLT), tidak akan berdampak panjang. Hal demikian diamini juga oleh Sahat Saragih, seorang aktivis yang sudah malang melintang dalam dunia rakyat di tanah Papua. Sahat yang dulu bekerja di International Labour Organization (ILO) berinteraksi dengan masyarakat Papua lebih dari 20 tahun. Menurutnya, bantuan langsung tunai malah menyebabkan masyarakat bermalas-malasan dan menghabiskan waktu dengan menunggu dana otsus turun. Secara objektif, walau kita tidak bisa menggeneralisir, namun fenomena tersebut nampaknya akan menjadi pertanda kurang baik khususnya bagi dunia pendidikan. Para pelajar tentu akan melihat orang dewasa. Akibatnya, semangat mereka ketika menjadi dewasa kelak untuk mencari nafkah secara mandiri bisa jadi akan berkurang.

Khusus mengenai fenomena tersebut, beberapa hal yang penulis usulkan agar terciptanya hubungan yang baik antara dunia pendidikan dan dunia kerja adalah sebagai berikut :

1.Adanya komitmen yang yang kuat dari pemerintah daerah untuk menyelaraskan dunia pendidikan dan dunia kerja. Hal ini bisa dilakukan dengan mengoptimalkan anggaran dari APBD atau APBN. Untuk daerah Papua, penggunaan dana otonomi khusus untuk pendidikan bisa digunakan untuk mengembangkan kualitas lembaga pendidikan yang ada. Untuk pendidikan formal, kurikulum pada tingkat satuan pendidikan menengah bisa menambahkan muatan lokal mengenai keterampilan di bidang kehutanan dan peternakan.

2.Mengenai anggaran yang cukup besar di bidang pemberdayaan masyarakat, pemerintah setempat perlu didorong untuk lebih mengembangkan lembaga-lembaga pelatihan keahlian. Masyarakat dilibatkan dalam pelatihan, dibekali dengan keahlian yang sesuai dengan potensi daerahnya. Sebagai contoh adalah masyarakat Sorong Selatan di distrik-distrik terbiasa memelihara babi di halaman rumahnya. Pengetahuan tentang memelihara babi didapat secara turun menurun dari keluarganya. Hal ini tentu menjadi peluang bagi lembaga pelatihan untuk meningkatkan skill masyarakat dalam kegiatannya. Harapannya, memelihara babi tidak hanya menjadi pekerjaan sampingan namun bisa ditingkatkan menjadi pekerjaan utama. Selama ini, hal tersebut belum secara serius dilakukan.

Penutup

Strategi pengembangan koridor ekonomi dalam MP3EI membuat orientasi lembaga pendidikan di daerah untuk menyediakan calon tenaga kerja akan semakin jelas dan berkualitas. Hal ini karena strategi tersebut bisa mengoptimalkan potensi dan keunggulan daerah masing-masing. Dunia pendidikan dan pekerjaan akan berjalan beriringan karena berada di koridor yang sama. Pada akhirnya, lulusan dunia pendidikan tidak lagi terjebak pada mekanisme pasar ataupun hanya jadi penonton, namun bisa jadi pemain di negerinya sendiri**

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun