Berita ini sungguh membuat bimbang Prabu Salya. Keinginannya untuk berpihak pada Pandawa pada pertempuran yang kelak bernama Bharatayudha itu, terhalang oleh berita dari Hastina. Ya, Prabu Duryudana mengirim utusannya ke perkemahannya, membawa berita tentang sakitnya Banowati, anaknya yang bungsu yang menjadi permaisuri Prabu Duryudana.
Hatinya sungguh berpihak kepada Pandawa. Bukan hanya pada Pandawa, pada ayah mereka, mendiang Pandu Dewanata pun, dia tetap mengaguminya sampai sekarang. Kesatria yang cakap dan jujur. Dulu ia rela adiknya Dewi Madrim mendapatkan Pandu sebagai suaminya walau dia sendiri gagal mendapatkan Kunti Nalibrata (Dewi Kunti) karena dikalahkan Pandu, saat diadakan sayembara di Negara Mandura untuk memperebutkan Dewi Kunti. Walau kalah, ia senang Pandu menjadi suami adiknya, yang ia jadikan taruhan bila dia kalah dari Pandu.
Kecintaannya pada Pandawa bertambah saat Madrim melahirkan Nakula-Sadewa, dua anak kembar yang kelak menjadi kesatria-kesatria cakap dan berbudi seperti kakak-kakaknya. Prabu Salya pun bersimpati pada perjalanan hidup Pandawa, yang seringkali menderita karena kecurangan saudara-saudara misannya sendiri, para Kurawa. Direbut haknya atas tahta Hastina sebagai penerus ayahnya Pandu, sampai harus mendirikan kerajaan sendiri (Indraprasta) di tanah yang dulunya hutan belantara (hutan Kandawa), dan toh akhirnya tetap harus kehilangan Indraprasta karena permainan dadu oleh Kurawa, berkat olah fikiran licik Sangkuni.
Salya menyadari ia bukanlah seorang yang rendah hati, bahkan dikatakan orang sebagai orang sombong (apalagi sewaktu masih muda), tapi dia mencintai kebenaran dan kejujuran. Kecintaannya pada kebenaran dan kejujuran inilah yang membuat hatinya berpihak pada Pandawa.
Maka ketika ia mendengar berita tentang kesepakatan Pandawa dan Kurawa untuk berhadapan di padang Kurusetra, dan setelah ia mendapat surat permintaan bantuan dari Prabu Yudhistira, ia pun tak berpikir panjang lagi, mempersiapkan pasukannya dan berangkat ke Wirata, tempat para Pandawa berdiam saat ini.
Kedatangan utusan Prabu Duryudana di tengah perjalanannya ke Wirata dengan membawa berita ini tentu saja membuat ia bimbang, apakah akan meneruskan perjalanannya ke Wirata bersama pasukannya, atau harus membatalkan rencana ini dan pergi ke Hastina untuk menengok Banowati. Ia harus mengambil keputusan malam ini, sebelum esok hari harus kembali melanjutkan perjalanan.
Maka malam itu, saat ia menimbang-nimbang keputusannya, pikirannya pun melayang ke masa lalu ....
....
Narasoma, demikian namanya waktu muda dulu, dia adalah putra mahkota di Kerajaan Mandaraka. Orang bilang dia pemuda yang angkuh, sombong, percaya diri tinggi.  Ganteng memang, makanya banyak gadis yang suka. Suatu saat dia melawan ayahnya, Prabu Artayana, ketika akan dijodohkan dengan pilihan ayahnya. Maka diusirlah ia karena dianggap melawan orang tua, berkuda seorang diri tanpa tahu arah yang dituju. Menjalani gunung, hutan, dan ngarai. Sampai dia melewati sebuah padang.
Tanpa ia sadari ada yang sesosok tubuh besar melayang-layang di udara, mendekatinya. Sesosok tubuh raksasa, namun berpakaian brahma (resi). Sekonyong-konyong resi inipun mendarat dan menghadang Narasoma dan kudanya, sampai kudanya meringkik kaget. Sang resi raksasa ini pun memperkenalkan dirinya, Resi Bagaspati namanya. Dia tanya identitas Narasoma. Narasoma pun terus terang saja membuka identitasnya.
Tak disangka sang resi mengatakan bahwa dia ingin menikahkan Narasoma dengan putrinya. Tentu saja Narasoma kaget, tak percaya apa yang didengarnya. Apa? Menikah dengan seorang anak raksasa? Siapa yang mau?
Aku, anak seorang raja, yang diingini setiap wanita, menikah dengan seorang raksesi? Mimpi buruk pun tak pernah. Maka keluarlah semua kata-kata makian Narasoma, yang merasa dirinya dilecehkan sebagai seorang putra mahkota.
Tersinggung sang resi. Tapi ternyata dia orang sabar. Wajarlah namanya juga resi. Bagaspati bilang, janganlah Narasoma menilai putrinya dari sosok ayahnya. Lihatlah dulu dia baru boleh menilai. Anakku adalah seorang putri cantik, kata Bagaspati. Tapi mana Narasoma mau percaya. Anak raksasa ya pasti raksasa juga, katanya.
Maka kemudian sang resi menceritakan tentang anaknya. Katanya, anaknya suatu malam bermimpi, bertemu dengan seorang kesatria sangat tampan, dan menikah dengannya. Sang anak minta agar bapaknya berusaha menemukan pria impiannya itu. Maka berbulan-bulan sudah ia mencari sang pemuda, sampai bertemu dengan Narasoma sekarang dan ia punya firasat Narasoma-lah yang telah hadir dalam mimpi sang anak.
Mendengar cerita ini, dasar pemuda sombong, Narasoma tetap tak mau percaya. Dia malah menantang tanding dengan sang resi, karena tetap merasa dihina. Maka tak ada pilihan bagi Bagaspati meladeni pemuda sombong ini.
Narasoma pun melepas panah-panahnya, namun semua itu hancur sebelum menyentuh kulit sang resi. Semua ajian Narasoma dapat dengan mudah dipatahkan Bagaspati, dan akhirnya Narasoma pun dilumpuhkan sampai pingsan. Bagaspati pun kemudian membawanya terbang ke tempat tinggalnya, sebuah padepokan bernama Padepokan Argabelah.
Tiba di padepokan Narasoma siuman dan dia mendengar suara seorang wanita yang menjawab panggilan ayahnya yang baru datang. Sang ayah menyuruh si anak melihat ke luar, apakah pemuda yang ia bawa ini cocok dengan yang diimpikan sang anak. Dan ternyata benarlah. Kata si anak, dialah pemuda tampan yang telah hadir di mimpinya. Malah dia sangat ingat dengan hidungnya yang `bangir' (mancung).
Narasoma yang semula sama sekali tak ingin melihat ke depannya, pelan-pelan membuka matanya begitu mendengar suara yang merdu. Dan ketika ia melihat si gadis, tak percaya dia dengan apa yang dilihatnnya. Sesosok anak manusia yang sangat jelita. Tak pernah ia melihat wanita secantik itu. Pakaiannya sederhana
sebagaimana gadis desa, tanpa `make-up' pula, namun sungguh cantik. Benarlah kata Bagaspati, anaknya adalah seorang manusia sempurna, cantik pula.
Ya namanya juga resi, mungkin sang resi dinikahkan dengan seorang bidadari dari kahyangan karena budi pekerti dan kekuatan spiritualnya, dan lahirlah makhluk secantik ini, pikir Narasoma. Tapi tak pentinglah asal-muasal itu. Yang penting dia langsung jatuh cinta pada pandangan pertama kepada gadis itu. Pujawati
namanya. Tak perlu ditanya dua kali oleh sang resi, Narasoma langsung berubah fikiran dan bersedia menikah dengan Pujawati.
Maka dinikahkanlah Narasoma dengan Pujawati oleh Resi Bagaspati di padepokan Argabelah. Sebuah pernikahan yang sangat sederhana, namun sungguh indah dan agung terasa oleh keduanya, mengikrarkan cinta sehidup semati. Hanya kebahagiaanlah yang meliputi perasaan mereka berdua. Sang resi pun mengambil janji dari Narasoma bahwa hanya Pujawati-lah satu-satunya wanita dalam hidupnya.
Berbulan-bulan Narasoma tinggal di Argabelah, tak ada hal yang penting dalam hidupnya kecuali rasa cintanya pada sang istri. Demikian pula Pujawati, bahagia tak terkira mendapat suami ganteng impiannya yang juga mencintainya.
Suatu hari, ketika mereka memadu kata cinta, Pujawati berkata bahwa, cintanya pada kanda Narasoma bagai kuku. Setiap kali dipotong, selalu tumbuh lagi. Demikianlah cinta Pujawati, tak akan pernah mati, dan ia akan setia menemani Narasoma dalam hidupnya. Sungguh perumpamaan yang indah, kata Narasoma.
Narasoma pun tak kekurangan kata cinta. Dia katakan, cinta yang ia rasakan pada Pujawati sangatlah murni sekaligus lezat, bagai sepiring nasi putih yang hangat dan harum. Namun sayang, kata Narasoma, ada sebiji gabah terselip di antara nasi itu, yang mengganggu kenikmatan makan nasi tersebut.
Hmm, sebuah perumpamaan yang membuat penasaran Pujawati.
Apakah gerangan hakikat `gabah' itu, kakanda? Beritahukanlah pada adinda agar adinda dapat menghilangkannya, sehingga tak lagi mengganggu cinta kita. Demikian kata Pujawati.
Semula Narasoma enggan menjawab pertanyaan istrinya, namun setelah didesak berkali-kali akhirnya Narasoma menyuruh Pujawati menanyakannya pada ayahnya, karena pasti sang resi memahami apa yang ia maksud.
Maka esok paginya, Pujawati pun menghadap ayahandanya, dan dengan polosnya menceritakan pembicaraannya dengan suaminya, khususnya perumpamaan yang dibuat suaminya. Setelah mendengar semua cerita Pujawati, Bagaspati terlihat murung, berkat kebijakannya diapun memahami semua arti perumpamaan menantunya itu.
(bersambung)