Ujian Nasional. Kata-kata itu tentu tidak asing dengan telinga pelajar, khususnya kelas ‘pojok,’ yaitu kelas 6 SD, 9 SMP, dan 12 SMA. Nah, karena kebetulan saya kelas 12 SMA, rasa-rasanya akan lebih ngena kalau artikel ini ditulis oleh subjeknya langsung yaitu saya sendiri yang sudah, dan akan mengalami Ujian Nasional (UN). Sebelum masuk ke topik yang lebih dalam, saya ingin menyampaikan bahwa maksud dan tujuan artikel ini di tulis adalah untuk berbagi pikiran tentang apa yang saya lihat, pikirkan, dan rasakan. Itu saja.
Rasa-rasanya, tidak salah kalau saya memperkenalkan sejarah UN di dunia pendidikan. Berikut sejarah singkatnya;
1. Tahun 1965-1971, pada tahun ini, sistem ujian dinamakan ujian negara. Hampir berlaku untuk semua mata pelajaran, semua jenjang yang ada di Indonesia, satu komando dan satu kebijakan pemerintah pusat.
2. Tahun 1972-1979, pada tahun ini, ujian negara ditiadakan, diganti dengan ujian sekolah (US). Jadi sekolah yang menyelenggarakan ujian sendiri-sendiri. Semuanya diserahkan kepada sekolah, sedangkan pemerintah pusat hanya membuat kebijakan-kebijakan umum terkait dengan ujian yang dilaksanakan.
3. Tahun 1980-2000, pada tahun ini, untuk mengendalikan, mengevaluasi, dan mengembangkan mutu pendidikan, Ujian sekolah diganti menjadi Evaluasi Belajat Tahap Akhir Nasional (EBTANAS). Dalam ujian ini, dikembangkan perangkat ujian paralale untuk setiap mata pelajaran yang diujikan. Sedangkan terkait dengan penggandaan dan monitoring soal dilaksanakan oleh daerah masing-masing.
4. Tahun 2001-2004, pada tahun ini, EBTANAS diganti menjadi Ujian Akhir Nasional (UNAS). Hal yang menonjol dalam peralihan nama “EBTANAS” menjadi “UNAS” adalah penentuan kelulusan siswa, yaitu Dalam Ebtanas kelulusannya berdasarkan nilai 2 semester raport terakhir dan nilai EBTANAS murni, sedangkan UNAS ditentukan pada mata pelajaran secara individual.
5. Tahun 2005-2009 ada perubahan sistem yaitu pada target wajib belajar pendidikan (SD/MI/SD-LB/MTs/SMP/SMP-LB/SMA/MA/SMK/SMA-LB) sehingga nilai kelulusan ada target minimal.
6. Tahun 2010-Sekarang, UNAS diganti menjadi Ujian Nasional (UN). Untuk UN tahun 2012, ada ujian susulan bagi siswa yang tidak lulus UN (Paket C). Dengan target, para siswa yang ujian dapat mencapai nilai standar minimal UN sehingga dapat lulus UN dengan baik.
Cukup panjang, kira-kira sudah 30 tahun acara pendidikan tahunan ini berlangsung meski sempat vakum pada tahun 1972-1979. Lalu apa yang mau saya bagikan? Mungkin ini terdengar kontra, namun inilah yang saya rasakan. Kalau ada respon yang membangun, bisa berbagi di kolom komentar.
Mengapa perlu diadakan Ujian Nasional? Setelah saya bertanya kepada beberapa orang, ada yang menjawab “Ya, namanya juga proyek pemerintah, pasti ambil untung juga lah.” Ada juga versi lain “Untuk mengukur sampai sejauh mana siswa mengerti pelajaran yang diserap selama sekolah.” Ya, baiklah. Ini negara demokrasi, semua orang bebas berpendapat. Anggaplah mengukur pemahaman siswa. Apakah Ujian Sekolah (US) saja tidak cukup? Saat ini, sekolah saya memakai sistem kelulusan 60% diambil dari UN, 40% diambil dari US. Saya pribadi berpendapat, kenapa tidak memakai 100% US saja? Toh kurikulum yang dipakai di sekolah, (seharusnya) mengikuti kurikulum pemerintah. Bukankah dengan adanya UN, siswa harus belajar dua kali? Iya sih, tugas pelajar adalah belajar. Tapi ya….
Saya sendiri iseng bertanya kepada teman-teman saya baik dari jurusan IPA atau IPS, apakah mereka setuju dengan adanya UN. Bisa ditebak, mayoritas dari mereka menjawab tidak. Salah satu alasan yang saya sering dengar adalah masalah melingkari Lembar Jawaban Komputer (LJK). Meskipun ‘hanya’ melingkari saja, toh memakan waktu yang cukup lama, mengingat ‘hanya’ melingkari. Saya sendiri mencoba berapa rata-rata waktu yang dibutuhkan untuk melingkari LJK. Dari beberapa kali percobaan, saya membutuhkan waktu 4 detik. Namun dengan catatan sudah sekaligus merapihkan sisi lingkaran yang masih terlihat putih. Kalau salah, harus menghapus dengan sekuat tenaga agar bersih, dan ter-scan dengan baik. Sampai saat ini, saya belum menemukan kasus LJK sobek ketika menghapus jawaban yang salah. Namun tetap beresiko. Iya sih, sebelum melingkari harus yakin dalu. Tapi ya namanya manusia, bisa salah…
Kemudian ini pikiran saya pribadi. Kalau saja ada kasus, misalnya nomor 10 jawaban yang seharusnya adalah A. Namun tim pembuat soal karena kekhilafannya menjawab B, sehingga jawaban murid-murid salah. Murid yang rugi bukan? Murid tidak tahu tim pembuat soal menjawab B di kunci, padahal jawabannya adalah A, dan tim penulis tidak merubah jawaban karena murid-murid yakin tim pembuat soal jawabannya adalah A. Waduh…
Hal lain yang tidak kalah ngeri, kalau-kalau komputer tidak bisa membaca jawaban karena bulatan yang kurang penuh, atau terbaca ada dua jawaban karena saat menghapus kurang bersih. Bagi saya, satu nomor sangat berarti. Rasa-rasanya repot gitu prosesnya. Mungkin hemat waktu dan tenaga karena memakai komputer. Tapi tetap saja tidak bisa terlepas dari kesalahan-kesalahan baik itu tim penulis, komputer, atau bahkan siswa itu sendiri. Prosesnya menurut saya rumit. Segitu pentingnya kah UN? Mengapa tidak memakai nilai US saja? Apakah ada jaminan kalau mengadakan UN, pendidikan anak Indonesia membaik? Mengapa pemerintah perlu membuat UN? Proyek kah? Atau ada pendapat lain?