Simak pula yang dikatakan Menteri Negara Tenaga Kerja Muhaimin Iskandar, secara pribadi, dirinya ingin menghentikan pengiriman Tenaga Kerja Indonesia (TKI) keluar negeri, dapatkah idée ini ditindaklanjuti. Pendapat Muhaimin diutarakannya pada wartawan, saat berada di kediaman Kikim Komalasari,TKI yang tewas di Arabi Saudi, di Kampung Cipeyem RT 3 RW 1, Desa Mekarwangi, Kecamatan Ciranjang, Kabupaten Cianjur, Sabtu (20/11). Muhaimin mengatakan hal tersebut dengan keraguan yang besar, sebagai responnya atas suara masyarakat atas kasus Sumiyati. "Kita bisa memahami tuntutan itu" ujarnya, dan secara hati, saya juga inginkan menghentikan pengiriman itu. imbuhnya. Pertanyaannya, apakah idée Muhaimin diteruskan? Ternyata seorang Menteri yang membidangi tenaga kerja, penuh keraguan, tidak serius memfollow-up apa yang dipikirkan. Kalau tidak serius, mengapa statemennya dilepas kepada wartawan? Tampak ambivalensinya pemerintah kita, ketika Muhaimin mengatakan, namun bila dipikirkan secara rasional, penghentian pengiriman TKI ke Saudi Arabia tersebut tak bisa dilakukan. Alasannya, merupakan hak asasi manusia untuk keluar negeri atau tidak, kita tak bisa melarang,ujar politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) tersebut.
Pemerintah sudah harus serius menjaga agar TKI di luar negeri terlindungi, sehat, sejahtera, dan selamat. Karena sudah ribuan kasus membahayakan dialami TKI. Direktur Eksekutif Migrant Care, Anis Hidayat, melihat kejadian yang menimpa Sumiyati di Arab Saudi merupakan puncak dari gunung es kekerasan terhadap tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri. Kasus itu terjadi karena dampak dari sistem kebijakan Indonesia yang lemah soal TKI.
Instrumen hukum yang kita miliki terbukti tidak bisa melindungi TKI. Menurut dia perangkat Undang Undang (UU) tentang TKI tidak bisa mencegah ataupun mengatasi persoalan yang terjadi. Lantaran itu, persoalan yang sama, yaitu kekerasan dan penganiayaan, terus berulang. Selama ini, dari tahun ke tahun, terlihat adanya peningkatan kasus kekerasan terhadap TKI. Data dari Migrant Care, hingga Oktober 2010, sudah terjadi 5.336 kasus kekerasan. Jumlah ini sejalan dengan target penempatan TKI yang terus ditingkatkan oleh pemerintah. Fakta ini harus diimbangi dengan proteksi terhadap TKI, terutama dari sisi regulasi yang berpihak.
Oleh karena itu perlu diubah UU-nya, kata Anis. Migrant Care menilai pemerintah Indonesia perlu segera merevisi UU Nomor 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri. Sekitara 80 persen dari peraturan perundangan itu harus dirubah. Terutama dalam hal pemberian hak bagi buruh migran, karena instrumen UU dibuat untuk melindungi para pekerja Indonesia di luar negeri. UU juga seharusnya mampu memprediksi kerentanan yang bakal terjadi pada buruh migran terutama pada sektor pembantu rumah tangga.
Poin lain yang harus menjadi perhatian pemerintah saat melakukan revisi adalah tentang peran Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI). Saran Migran Care perlu diperhatikan seperti usulannya agar peran PJTKI harus dirombak Saat ini UU yang ada telah memberikan peran hulu sampai hilir pada PJKTI. Mulai dari rekrutmen, pengurusan dokumen, penempatan, hingga pemulangan. Pemerintah seharusnya ikut ambil bagian dalam peran-peran tersebut.
Peran PJTKI didorong hanya pada administrasi saja. Peran strategis dipegang oleh pemerintah, karena misi PJTKI adalah mencari keuntungan, padahal TKI perlu diberikan perlindungan, tidak hanya dieksploitasi. Sisi lain dari UU yang harus dibenahi adalah dalam pengaturan sanksi. Selama ini yang menjadi titik beratnya adalah sanksi administrasi. Harus memperketat sanksi pidana. Setiap pelanggaran yang merugikan TKI harus sanksi pidana.
Walaupun TKW diberi telepon genggam, tetapi HP mereka tidak mungkin mencegah napsu busuk dan sadis personal di Arab Saudi. Saya terpingkal-pingkal ketawa ketika mengetahui jalan pikiran yang naïf terkait dengan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri akan dibekali telepon genggam oleh pemerintah agar mereka dapat cepat melapor apabila sesuatu tidak dikehendaki terjadi pada diri mereka. Tidak tanggung-tanggung yang menyarankan adalah Presiden SBY.
Usulan tersebut dilontarkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) usai rapat kabinet terbatas membahas pelindungan TKI di Kantor Kepresidenan, Jakarta, Jumat (19/11).
Sedang dirumuskan memberi HP pada orang per orang tenaga kerja kita, harus disampaikan kepada siapa konsulat jenderal kita, juga di dalam negeri, setiap saat, 'real time', nomor telepon yang bisa dihubungi untuk dia komunikasi secara instan kemudian sistem bekerja. Ini sedang kita rumuskan, dilaksanakan di waktu yang akan datang," jelas Presiden SBY.
Presiden SBY mengakui selama ini pemerintah tergolong lambat mengetahui informasi TKI yang mengalami kekerasaan atau pun masalah lain seperti gaji yang tidak dibayarkan.
Apalagi, menurut Presiden SBY, memang terdapat semacam ketertutupan di Arab Saudi sehingga TKI yang bermasalah di negara tersebut tidak mudah diketahui nasibnya oleh pemerintah. "Selama ini seringnya terlambat kita mengetahui kalau saudara-saudara kita mengalami masalah serius, apalagi di Saudi Arabia dilaporkan para menteri memang ada semacam ketertutupan tidak mudah mendapatkan informasi segera yang cepat,'' ujarnya.
Untuk itu, Presiden SBY mengatakan, pemerintah akan mengevaluasi keberadaan TKI di negara-negara tertentu yang ternyata tidak mudah dilakukan kesepakatan dalam bentuk nota kesepahaman pada tingkat bilateral untuk perlindungan para TKI.
Mimpi saya, suatu ketika koruptor dalam birokrasi kita sadar, akibat tindakan sadis mereka mengorupsi uang rakyat yang berada dalam genggaman kepercayaan mereka sebagai birokrat dikorupsi maka kegiatan di dalam negeri tidak bisa berkembang dengan baik, apalagi maju, lapangan pekerjaan menjadi suatu "kemewahan", gaji pekerja dibayarkan amat murah, maka pekerja kita mencari makan di luar negeri, dengan resiko yang mereka peroleh seperti yang dialami ribuan TKI kita yang disiksa, menderita sakit dan trauma psikis dan fisik, bahkan meninggal dunia. Melalui tulisan ini, saya serukan kepada mereka para koruptor: berhentik makan uang negara yang adalah uang rakyat, jika tidak akan datang waktu yang tepat Anda dan keluarga pasti akan mengalami siksaan fisik dan psikis, bahkan mengalami amputasi jiwa dan raga.
Negara kaya raya Indonesia, seharusnya kita menerima "babu" dari negara lain, bukan mengirim babu mencari makan, dengan menanggung resiko, bahkan jiwa melayang.