Kebijakan hak kekayaan intelektual bisa menjadi jaminan bank ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) 24/2022 tentang Peraturan Pelaksana Undang-Undang (UU) Ekonomi Kreatif yang diteken Pak Jokowi pada 12 Juli 2022 lalu.
Ya, kita semua tahu kalau perkembangan teknologi digital membuka banyak ruang bagi konten kreator untuk berkarya, menghasilkan cuan, malah bisa membuat beberapa di antara mereka menjadi 'sultan'. Apalagi kalau hak kekayaan intelektual atas karyanya sudah diurus alias dipatenkan, pasti aman.
Jadi, jelaslah kalau kebijakan pemerintah terkait kekayaan intelektual ini bisa membantu permodalan mereka untuk semakin getol berkarya, dan tentu bisa menghasilkan lebih banyak lagi cuan. Tapi ini semua dengan catatan lho, jika karyanya sudah mangkal di data kekayaan intelektual alias punya sertifikat hak kekayaan intelektual (HaKI), dan memang bernilai.
Bernilai? Nah, kata inilah yang membuat kabar gembira tadi berbuah kebingungan bagi perbankan dan regulator, dalam hal ini Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Bagaimana cara menghitung valuasi karya atau hak kekayaan intelektual?
Begini, kegiatan pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan sepenuhnya merupakan kewenangan bank berdasarkan penilaian terhadap kemampuan bayar si calon debitur, dan yang utama, berapa nilai dari barang yang dijadikan jaminan kredit tersebut?
Dengan begitu, saat debitur mengalami kendala gagal bayar, sakit atau hal lain yang bisa menyebabkan kredit macet, barang jaminannya dalam hal ini hak kekayaan intelektual yang dimiliki debitur bisa dijual atau dilelang untuk menutupi pinjaman perbankan tadi.
Inilah problemnya. Saat ini mekanisme penentuan valuation ekosistem Hak Kekayaan Intelektual di pasar masih terbatas dan masih belum cukup kuat. Jadi dari sudut pandang perbankan, masih perlu banyak perangkat hukum dan perbankan yang harus disesuaikan untuk mengaplikasikan kebijakan baru ini.
Tapi bukan tidak mungkin lho kekayaan intelektual bisa dijadikan jaminan bank. Di Amerika Serikat dan Eropa kebijakan ini sudah ada sejak lama. Ambil contoh di AS, membiayai konten kreator itu sudah biasa jika analisa prospeknya bagus. Jika wanprestasi, royaltinya dijual atau dilelang, dan itu laku.
Saya jadi teringat perbincangan santai dengan Guru Besar Sekolah Bisnis IPB, Prof. Dr. Ir. Musa Hubeis M.S., Dipl.Ing., DEA. beberapa waktu lalu. Menurutnya, kebijakan bisa menjaminkan kekayaan intelektual ke bank ini adalah sebuah terobosan.
"Karena dalam HaKI ada paten sederhana dan lengkap dengan durasi 10 sampai 20 tahun bagi Bank untuk membantu komersialisasi hasil inovasi," kata Prof. Musa. "Lebih detail teknis dan mekanismenya seperti apa, mungkin bisa dibuat FGD (Focus Group Discussion)," sambungnya.
Pada sisi lain, tujuan diadakannya hak kekayaan intelektual sebagai akses pemodalan ke bank merupakan solusi yang baik untuk perkembangan industri kreatif Indonesia.
Yang pasti, saat ini kesadaran soal HaKI dan royalti boleh dikata sudah tumbuh di masyarakat -- terima kasih untuk Baim Wong dan hebohnya HaKI Citayam Fashion Week.
Jadi, saya pikir kita sudah siap untuk tidak menjadikan Hak Kekayaan Intelektual sekadar 'konten' hukum, namun juga laik menjadi 'konten' perbankan.
Saya yakin, apapun kendala atas kebijakan ini, yakni Hak Kekayaan Intelektual bisa menjadi jaminan bank, perbankan dan regulator akan mencari jalan keluarnya. Tentunya solusi yang membuat para pekerja kreatif nyaman, dan membuat perbankan aman.
Sekali lagi, terima kasih Baim Wong.