Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Emily (Bag.3)

12 Desember 2012   06:25 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:48 131 0
Cahaya lampu blitz berkeredipan menyilaukan. Sahut-sahutan pertanyaan dan keributan yang bersumber dari badan beradu badan para wartawan hiburan tersebut memusingkan kepala Wisnu. Dirinya berdiri di sudut ruangan cafe kecil nan mahal ini dengan perasaan bosan yang tidak bisa disembunyikan.

Suara mendesah dan sedikit dibuat-buat dari Juanita Pradopo mendadak membuat segala keributan tadi berhenti. Paras selebritis yang tengah menjadi primadona segala acara gosip di negeri ini berembun oleh keringat akibat panas lampu sorot yang sengaja diarahkan ke wajah ayunya oleh beberapa stasiun televisi yang ikut hadir di sana.

Juanita Pradopo mencoba menjelaskan, masih dengan suara yang membuat Wisnu muak,  mengenai kebenaran skandal foto-foto mesranya dengan seorang fungsionaris partai besar yang tengah menjadi berita paling panas di Indonesia. Sedikit menggoda, Juanita seperti sengaja melempar remah-remah informasi yang  ditelan bulat-bulat oleh  sekelompok orang yang mengatasnamakan kehausan masyarakat akan informasi selebritas semacam ini.

Beberapa meter dari tempat Juanita duduk, Wisnu tertawa dalam hati menyaksikan sirkus media semacam itu.

Beberapa wartawan yang mengenalnya sebagai pengacara Juanita Pradopo mencoba mewawancarainya, mungkin mencari remah-remah berita lain yang tidak diungkap oleh bintang utama jumpa pers kali ini.

Wisnu hanya mengangkat bahu sedikit dan melemparkan senyum televisinya. Beberapa kali 'no comment' segera membuat mereka menjauh.

Diri Wisnu lima tahun yang lalu tak akan menyia-nyiakan promosi gratis semacam ini. Dia akan memanfaatkan ini semua untuk menaikkan namanya di panggung hukum selebritas, berbicara panjang lebar, memasang wajah serius seolah-olah menangani kasus hukuman mati seorang pelaku subversif negara. Dengan mengenakan jasnya yang paling mahal, arlojinya yang paling mahal, dan sedikit sentuhan cincin berlian, setiap orang akan mendengar argumen-argumen hukumnya di televisi untuk membela para selebritas yang membutuhkan jasanya.

Dia ingin terkenal. Lima tahun telah lewat dan Wisnu telah menjadi seorang veteran di panggung gosip. Tak ada yang tidak mengenalnya. Kartu nama, pin Blackberry, nomor HP - nya bisa dipastikan ada di setiap dokumentasi manajemen artis di Jakarta. Uang mengalir dengan mudah, bahkan terlalu mudah.

Sejujurnya, semua itu kini membuatnya bosan. Wisnu tahu bahkan ayahnya diam-diam menertawakan segala lagak lakunya menangani kasus- kasus semacam ini.

Lamunannya beralih ke Emily. Sambil menunggu, Wisnu mencoba menghubungi putrinya itu. Dua hari yang lalu mereka berpisah di lobi hotel bintang empat tempat Emily menginap dengan kikuk. Saat itu Emily ingin memeluknya namun Wisnu tidak tahu apakah hal itu pantas, bahkan meski gadis itu adalah putri kandungnya. Sehingga mereka bersalaman saja, untuk kemudian sama-sama menertawakan kekonyolan tersebut.

Emily berencana tinggal selama 4 hari di Jakarta untuk selanjutnya melakukan traveling ke Bali dan Lombok sebelum kembali ke Amerika Serikat.

Saat pertama mendengar rencana itu di mobil, Wisnu seketika merasakan naluri untuk melarangnya pergi sendirian keliling Indonesia.

"Does your mother know you're going to travel alone?"

Emily mengangguk,"Yep, she knew. Besides, my pals already there right now."

"In Bali?"

"Uhum," Emily menggosok dagunya. " I'm all grown up, Sir. You don't have to worry about your little girl," kata Emily lagi, setengah meledeknya.

Nada sambung itu terus berbunyi namun tak ada yang mengangkat. Wisnu menatap kosong layar ponselnya, dia tahu dia tidak punya hak melarang Emily kemana pun. Gadis ini tumbuh tanpa keberadaannya dan Wisnu tidak bisa begitu saja mengambil peran sebagai ayah. Demi Tuhan, mereka baru bertemu dua hari yang lalu dan melakukan pembicaraan tak lebih dari empat jam.

Pernikahannya dengan Ava tidak dikaruniai keturunan dan menjadi ayah adalah suatu konsep yang asing baginya. Kehadiran mendadak Emily membuat emosinya labil dan dipenuhi keraguan tentang apa yang seharusnya dia lakukan sebagai ayah yang baik.

"Bang, sudah selesai. Hayuk," suara Ega, manajer Juanita Pradopo membuyarkan lamunannya.

Alphard hitam milik Juanita itu segera mereka masuki. Beberapa fotografer masih berusaha menghamburkan kilatan blitznya ke arah Juanita di balik kaca jendela. Wisnu membebankan tubuhnya ke kursi kulit di jok belakang dan memejamkan mata. Juanita Pradopo mencoba memancing pembicaraan kepadanya tapi Wisnu pura-pura tidak mendengar.

"Abang, kenapa Abang tidak duduk disampingku tadi?" Juanita merajuk.

Wisnu tersenyum datar. "Kamu artis yang cerdik, Nita. Kamu tahu apa yang harus kamu lakukan dengan mereka," katanya.

Saat itu tiba-tiba HP-nya bergetar.

Emily?

(bersambung)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun