Jarak tempuh dari Desa Bojongmenteng ke Baduy Luar kira-kira 30 menit, kalau saya tidak salah. Ya, kita sudah sampai. Mobil di parkiran terlihat banyak, mungkin bukan kami saja yang mengadakan perjalanan wisata kesini tetapi ada banyak orang.
Matahari cukup menikam ubun kepala siang tadi. Tapi tak apalah yang penting saya dan teman-teman probono bisa lihat Baduy. Itulah cita-cita kami terlepas dari memberikan penyuluhan Street Law kepada warga yang tidak mengerti hukum.
Dibelakan parkiran mobil, berdiri tegak patung selamat datang. Ada suami istri dan kedua anak. Satu lelaki dan satu perempuan sedang melambaikan tangan. Mungkin mempersilahkan para wisatawan agar masuk ke daerah Wisata Baduy. Ya, saya memaknainya seperti itu.
Terlihat sudah teman-teman probono sedang berdiri di bawa patung. Masing-masing mengeluarkan kamera handphone. Tapi yang masuk kategori adalah handphone milik Yayah. Iya sih, kameranya keren dari pada punya saya dan teman-teman lain tentunya. Saya yang masih beristirahat dari perih teriknya matahari kemudian berlari menghampiri teman-teman yang sudah siap untuk dipotret.
Kami akhirnya foto bersama sesama tim probono. Jepret, jepret, jepret. Hitungan saya ada 20 kali jepretan gambar kami yang diambil oleh teman dari Kumala. Selepas itu kami berfoto ramai bersama teman-teman Kumala. Ya agak terlihat gila sedikit sih hingga membuat warga sekitar Desa Cibuleger melirik kami secara sistematis.
Perjalanan masuk ke desa Wisata Baduy dibawa gapura kita lewati. Trackingnya agak nanjak. Ok, kami sepakat untuk semangat menyusuri tracking tersebut.
Susuran kami diwarnai dengan pernak-pernik hasil olahan warga sekitar yang menambah pendapatan ekonomi mereka. Bermacam-macam gantungan sarung tenung khas Baduy, Gelang, Kalung, madu, gelas dari bambu, terlihat berjejer rapih menyambut kedatangan kami
Mata ini mulai melirik ingin membelinya. Namun kata teman dari Kumala. "jangan dulu membeli bang, masih banyak produk seperti ini di sepanjang jalan yang akan kami lewati," kata dia.
Ok bang, jawabku.
Percakapan soal Baduy antara saya dan Deko mengalir seruhnya. Sambil membakar sebatang rokok untuk menambah keseruan percakapan kami. Iya, ini hanya bisa kami lakukan sehingga tidak terlihat kaku dalam menyusuri tracking. Angin tidak membawa kabar, begitu juga dengan pepohonan sekitar belum memberi kode. Deko serentak memukul bahu kanan saya.
Heyy dirimu kenapa ketua, tanya saya.
Mau gak lihat Gadis Baduy yang adem-adem?
Mana Ketua, dimana saya bisa melihatnya?
Coba deh lihat ke belakan.
Belakan mane ketua?
Itu, sini saya tunjukin. Sembari Deko menarik tangan saya.
Wooow, berbusana khas Baduy rupa gadis itu tertutup topi caping yang dikenakannya. Berkalung emas menawan. Paras wajah yang adem eheey membuat hati ini luluh tak berdaya. Siapakah namanya? tanya saya kepada Deko.
Deko kemudian mendekatkan dirinya kepada si gadis. Sambil berkenalan. Suara yang syahdu bagai lagu-lagu rohani keluar dari mulutnya. Namanya siapa dek, tanya Deko.
Marsyah kang.
Oh namanya Marsyah. Masya Allah ademnya hati ini," ucap saya.
Boleh tidak saya minta foto. Kebetulan Marsyah sudah bisa lancar bahasa Indonesia sehingga tidak cenderung kaku diajak bercakap.
Saya tidak mau diam dan langsung ambil bagian. Ini momen berharga yang harus saya taklukan. Setidaknya walau cuman bisa dapat foto. Akhirnya jepretan saya dan gadis adem arem itu berhasil. Uhhh wajahnya mebasahi tubuh yang tebakar ini.
Teman-teman saya yang lain mulai bergiliran foto dengannya. Prinsipnya masih sama seperti saya, tidak ingin ketinggalan moment. Foto-foto itu kemudian di tutupi dengan kalimat haturnuhun teh.
Marsyah sudah berjalan mendahului lokasi potretan tadi. Sementara saya dan teman-teman masih bahagia atas peristiwa foto bersama Marsyah. Yayah, Dini dan Bu Mindo memilih berjalan lebih cepat.
Menanjak dan menanjak terlihat jauh dipandang, empat perempuan berseragam putih sedang berfose di bawah maps Desa Baduy yang dibuat pakai coran semen. Diatasnya ada beberap huruf yang hilang sehingga bacaan Selamat Datang di Baduy tidak terbaca jelas. Diatasnya lagi ada nama PLN yang memajang logonya diatas huruf-huruf selamat datang.
Lalu kami masuk dan harus registrasi, Jay tengah berhadapan dengan pria tampang Baduy untuk bersolidaritas dengan memberi duit 50 ribu. Hanya sebatas dukungan demi pembangunan desa. Kata teman-teman disini ada Perempuan cantik dan Lekaki tampan. Ternyata itu jelas saya menyaksikannya. Disamping saya, para ibu-ibu sedang berproduktif menenung sarung. Sementara anak-anak kecil Baduy yang lain sendura asyik bermain gembira  tanpa batasan. Sungguh luar biasa cerita ini.
Lima menit kemudian kami pergi meninggalkan tempat registrasi. Tangan-tangan teman perempuan saya sudah tidak bisa diatur lagi. Memegan pernak-pernik seakan ingin membelinya. Lalu tiba saatnya waktu itu menghentikan kami di sebuah rumah yang berhadap dengan tebing berpasir merah.
Dia lagi, Marsyah lagi kataku.
Kini Marsyah tidak sendiri, tidak berwajah adem berseri seorang diri. Sang ibu pun tak kalah ademnya. Marsyah dan ibunya sedang duduk berhadap menunggu para pembeli musiman. Tatapan itu awalnya tidak percaya akan kesopanan wajah Marsyah dan ibunya. Bergerak malu sang ibu akhirnya memilih masuk ke rumah meninggalkan Marsyah sendirian. Ada apa gerangan?
Lama percakapan antara saya, Marsyah dan teman-teman mengalir tanpa bendungan keras. Kami tertawa, bercanda, merayu, dan tentunya membeli produk yang dijual Marsyah. Saya membeli 2 gantungan mainan yang bertuliskan Baduy berharga 10 rebu.
Semuanya ikut membeli. Tentu bila yang membelinya banyak akan dikasih diskon. Itulah beberan Marsyah saat ditanya sama Si Deko. Kami tidak sungkang lagi berfose foto dengan Marsyah, kini dia sudah terlihat sangat welcome. Berbeda saat bertemunya di lokasi pertama yang masih terlihat malu. Atau apakah karena produk-produknya lumayan laku karena keborosan kami, mungkin saja. Tapi tidak apa, asalkan ini bisa membantu. Marsyah senang kita juga senang.