Di balik kisah hancurnya kemanusiaan, dua bocah bernama Acang dan Obet mulai bangkit dan menebar kedamaian yang telah mereka lakukan sejak dulu. Walau sempat hilang komunikasi saat Kota Ambon dilanda kerusuhan. Insting persaudaraan sangat mengunggah batin kedua bocah itu.
Acang di Desa Batu Merah bermukim mayoritas muslim. Sedangkan Obet di Desa Soya yang mayoritas kristen. Keduanya berumpung satu atap sekolah di SMA 11 Ambon, terpisah akibat design ketidakpuasan tumbangnya Orde Baru. Kini tengah merajut kasih kembali karena perbuatan dosa besar.
"Acang e...." teriak Obet dari Jauh.
"Obet ee..." balas teriak Acang.
Pelukan bahagia terjadi. Tangis, tawa dan duka mereka panjatkan dalam hati serayak berdoa menurut agama dan kepercayaan masing-masing. Doa selesai!
"Acang e, kanapa bisa begini," tanya Obet.
"Iyo, Obet e beta juga seng tau lai."
"Bukankah katong islam dan kristen dari dulu saudarah? Kok katong dua bisa bakalai sampe berdarah bagini," kata Obet dengan wajah sedih.
"Obet e, katong di Islam sana sudah teriak-teriak kafir, mar beta kurang paham kafir itu apa maksudnya. Beta dari dulu diajarkan mama deng bapa untuk satu bakata sajo dimeja makan," ucap Acang sambil merangkul Obet lagi dibahunya.
"Acang e," lanjut Obet, "beta tahu agama tidak mengejarkan seperti ini. Yang katong lakukan adalah kutukan. Ada yang merencanakan, mungkin dia irih melihat katong baku bae-bae."
Mereka kemudian berjalan menelusuri tiap desa-desa. Acang memakai kopiah putih sedangkan obet berkalung salib. Pegangan tangan erat-erat, langkahkan kaki terus berjalan. Senyum dan kedamaian tersinar cahaya dikedua wajah bocah itu.
"Assalamualaikum.. salom.." mereka ucapkan dalam situasi yang masih kegentingan. Tak ada rasa takut. Biarkan sakratul maut menjemput katong dua. Asalkan semangat pela dan gandong ini dipersatukan kembali.
Hendak tak ada kata menyerah untuk menebar kasih yang dilakukan. Di sudut Gereja dalam kota suara nyanyian suci dibawakan Obet. Suara yang merdu mempesona, meneduhkan moncong senapan.
Di masjid Raya dalam kota, suara adzan indah dikumandangkan Acang. Jamaah muslim terpanggil hatinya untuk mengkaji lagi perbuatan mereka. Ini bukan agenda ihdina sirattal mustaqim.
Saling kaji diri sesama internal muslim dan kristen mulai gempar dilakukan. Lorong Mardika mulai hilang bau darah dan air mata. Bapa Raja dan para Upu Latu menangis mengingatkan sumpah janji yang sudah dibina sejak zaman nenek moyang.
"Acang e, ya Obet e. Katong dua telah buka lembar baru. Kota Ambon harus seperti ini jua, berdampingan karena kemanusiaan bukan identitas agama. Ose bisa nikmati pasir putih di Pantai Lian. Beta bisa menikmati batu karang besar di Latuhalat."
"Inga pela dan gandong, kata Acang, ajaran ini lebih dahsyat efeknya dari pada kurikulum dinas pendidikan. Bahkan sebelum ada pancasila, katong di Maluku sudah tahu apa itu berketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan."
"Orang-orang Eropa itu belajar dari katorang sebelum Marxisme menyebar. Katong punya kisah sejarah terlalu panjang sehingga harumnya mengundang kapal-kapal kolonial datang berdagan dan menjajah."
Demikian Obet dan Acang melepas rindu mereka di Paparisa Galala, tempat orang menyebrang menuju Universitas Pattimura. Kuah ikan kuning dan Papeda menetralisir api kebencian dalam diri. Sambal Colo-colo mengeluarkan embun-embun keringat cacian.
Acang dan Obet menenggelamkan kekerasan diujung tanjung meriam bersama bekas kapal jajahan Jepang. Bibit-bibit perdamaian mengalir dari minyak cengkeh dan bunga pala. Ale rasa beta beta rasa.
Catatan*
Katong= kita
Baku bae-bae= bikin baik-baik
Seng= Tidak
Deng= Dan
Paparisa= Saung
Bakata= berkata
Bakalai=berkelahi
Sajo= Sejuk
Kanapa= Kenapa
Lai= Lagi
Galala= Nama Desa di Ambon
Pela /Gandong= Tradisi orang basudarah sesama Islam-Kristen di Maluku Tengah