Kabut asap pekat dari batang rokok dan lintingan tembakau yang memenuhi ruangan sidang adat saat itu seakan memberi nubuat bahwa masa-masa lebih kelam bagi masyarakat Suku Anak Dalam akan segera datang.
Di satu sisi pertemuan penting tentang masa depan Suku Anak Dalam itu seolah "meresmikan" nasib yang lebih merana. Suku Anak Dalam terbuang dari tanah mereka sendiri karena berlakunya Rencana Pengelolaan Taman Nasional Bukit Duabelas (RPTNBD).
Di sisi lain setelah bertahun-tahun bergaul dan mendapatkan pendampingan Komunitas Konservasi Indonesia Warsi, hingga menganggap lembaga swasaya masyarakat (LSM) itu teman yang mereka percaya mewakili kepentingan Suku Anak Dalam, wajar bila hari itu masyarakat Suku Anak Dalam merasa dikhianati!
Warsi, ternyata, justru jadi penasihat ahli dari rencana besar RPTNBD yang "membuang" masyarakat Suku Anak Dalam dari hutan nenek moyang mereka!
Sore itu menjadi klimaks pertemuan yang telah berlangsung dua hari dua malam karena peliknya persoalan. Tepat setelah buku tebal terbitan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jambi berjudul "Rencana Pengelolaan Taman Nasional Bukit Duabelas (RPTNBD)" itu selesai dibaca dan diterjemahkan tokoh pemuda Suku Anak Dalam dari Makekal Hulu, Pengendum Tampung, reaksi masyarakat Suku Anak Dalam yang hadir pun bermunculan satu sama lain secara impulsif. Â