"Semua mengalir, segala berubah," kata filsuf zaman kuno Yunani itu.
Kini kita nyaris tak bisa menemukan kehidupan yang statis bergeming, bahkan pada mereka yang berniat setia kepada tata cara lama, sebagaimana kehidupan nenek moyang sekalipun.
Semua mengalir dan berubah. Termasuk suku bangsa Kubu atau lebih dikenal sebagai Suku Anak Dalam.
Dua versi otoritatif dari keberadaan Suku Anak Dalam, baik yang mempercayai mereka asalnya adalah warga asli Kerajaan Sriwijaya atau pun versi Kerajaan Pagaruyung di masa lalu, keduanya selalu menyebutkan nenek moyang Suku Anak Dalam masuk hutan untuk bertahan memegang erat budaya nenek moyang.
"Kubu" sendiri, menurut penelitian Dr. Diana Rozelin, datang dari makna kata pemertahanan. Yaitu orang yang berusaha bertahan hidup di hutan dan membentengi diri.
Tetapi beratnya tantangan kehidupan, makin susahnya kondisi untuk bertahan hidup, membuat mereka pun relatif tak bisa menghindari perubahan.
Tengoklah peristiwa yang terjadi pada 12 Desember 2008. Pada Jumat pagi, sekitar pukul 8, Tumenggung Jelitai bersama puluhan laki-laki anggota rombongannya memasuki kawasan hutan Singosaro di Desa Pematang Kabau, Kecamatan Air Hitam, Kabupaten Sarolangun, Jambi. Hutan itu termasuk kawasan "kekuasaan" Tumenggung Majid, pimpinan kelompok Suku Anak Dalam di wilayah itu, yang sebenarnya masih memiliki ikatan saudara. Orang tua perempuan Temenggung Jelitai dan Temenggung Majid adalah kakak-beradik, sehingga kedua tumenggung itu sejatinya bersaudara sepupu.
Belum juga kaki-kaki rombongan Temenggung Jelitai melangkah lebih jauh memasuki hutan, di depan mereka menghadang Tumenggung Majid yang didampingi puluhan laki-laki anggota kelompoknya.
Bila tak ada perseteruan sebelumnya, tentu saja rombongan Temenggung Jelitai itu lebih mungkin datang guna mengeratkan persaudaraan.
Tetapi kali itu tidak. Dan keduanya sudah sama-sama mafhum. Kedatangan Jelitai dan rombongan tak lain untuk mempertanyakan pemukulan terhadap orang tua Temenggung Jelitai yang dilakukan oleh anak buah Temanggung Majid.
Alhasil, bukan solusi dan perdamaian yang terjadi.
Di tengah jalan kawasan hutan, manakala para laki-laki dari kedua kelompok itu masing-masing bicara harga diri dengan membawa parang tersampir di pinggang, yang ada kemudian hanya saling tunjuk dan teriak. Lalu, tak lama pun bentrokan fisik tak bisa lagi dicegah.
Tiga orang tewas di tempat, berkubang darah. Seorang dari pihak tamu, rombongan Tumenggung Jelitai. Dua orang lainnya dari tuan rumah, anak buah Temenggung Majid.
Konflik lama yang sudah berlangsung sekitar tiga tahun antara dua kelompok Suku Anak Dalam yang bersaudara dekat itu, yang dulu mengharamkan tak hanya menumpahkan darah tetapi bahkan berkata kasar dan menusuk hati sesama anggota suku, kini bisa menjelma pertumpahan darah dan membawa korbannya ke alam orang-orang mati.
Kini Suku Kubu atau orang-orang Suku Anak Dalam, memang, sudah berubah.
Perangai "Orang Terang" atau "Orang Kota" yang dulu mereka benci karena kelicikan, ketamakan, dan keculasan hatinya, perlahan namun pasti kini mulai menjadi tabiat orang-orang Suku Anak Dalam sendiri. Perilaku "Orang Terang" yang sangat menjunjung materi, yang dulu sama-sama mereka sumpahi, kini mulai meresap ke dalam diri Suku Anak Dalam seiring makin sulitnya mengais rejeki di ruang hidup yang kian merangsek orang-orang Suku Anak Dalam.
Tanah dan akses terhadap sumber daya hutan saat ini dipandang lebih mampu menjamin keberlangsungan hidup yang meniscayakan banyak kebutuhan dibanding ikatan sosial sebagai sesama orang Suku Anak Dalam yang sejatinya tak lain sama-sama kaum tertindas.
Pada sisi itu, orang-orang Suku Anak Dalam sudah laiknya "Orang Terang" atau "Orang Kota".
Sebab "Orang Kota" lah yang menurut penelitian profesor ahli psikologi Amerika Serikat terkemuka, Phillip Zimbardo, merupakan persona agresif dan cenderung bermental perusak, serta kurang memiliki tanggung jawab.
Tak jarang dari mereka, sebagaimana kata Erich Fromm kemudian, memiliki kepribadian necrofil, yakni kepribadian laiknya mayat. Mereka bisa merampas hak orang lain tanpa risih dan bisa menyiksa tanpa iba. Hati mereka sulit untuk bisa beresonansi, susah untuk ikut tergetar karena penderitaan sesama.
Semua perubahan yang terjadi di Suku Anak Dalam tampaknya bermula pada tahun 1970. Tahun itu menandai bermulanya kebijakan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) oleh pemerintah.
HPH adalah hak untuk mengusahakan kawasan hutan yang meliputi kegiatan-kegiatan penebangan kayu, permudaan dan pemeliharaan hutan (yang sangat jarang atau bahkan tak pernah dilakukan), dan pengolahan dan pemasaran hasil hutan sesuai dengan Rencana Karya Pengusahaan Hutan menurut ketentuan-ketentuan yang berlaku saat itu.
Intinya, pemerintah Indonesia berkeinginan mendapatkan devisa dari hutannya, sumber daya alam yang saat itu masih begitu melimpah.
Sejak 1970 itu pula hutan-hutan di Indonesia, dalam kasus Suku Anak Dalam di Jambi, menjadi rebutan sekaligus arena konflik horizontal maupun vertikal. Mulai ada konflik antara warga desa ("Orang Terang" atau "Orang Kota") dengan masyarakat Suku Anak Dalam; warga desa dengan perusahaan-perusahaan pemegang HPH; masyarakat Suku Anak Dalam dengan perusahaan pemegang HPH; dan bahkan konflik internal di antara orang-orang Suku Anak Dalam karena mulai maraknya persoalan yang memperuncing perbedaan pendapat dalam pencarian solusi atas semua itu.
Mulai tahun itu pula warga desa-desa di Jambi secara perlahan banyak berganti profesi, dari yang mulanya petani biasa akhirnya menjarah hutan menjadi pencuri kayu (ilegal loging) atau disebut bebalok dalam bahasa setempat. Pekerjaan bertani seperti menyadap karet dan sawit, yang merupakan pekerjaan mayoritas penduduk di Provinsi Jambi, lambat laun mereka tinggalkan karena merasakan hasil dari mencuri kayu di hutan jauh lebih menjajikan untuk masa depan.
Hingga kini, orang-orang Jambi selalu melihat tahun-tahun itu sebagai "zaman kayu" yang membawa banyak kemakmuran. Warga di sana tak pernah peduli kalau pun sebenarnya kawasan hutan yang mereka jarah itu berada di kawasan hutan lindung milik negara, yang dalam istilah manis "dikelola" perusahaan-perusahaan swasta.
Mulai saat itu pula hukum-hukum adat, yang mengatur pemanfaatan sumber daya hutan, ditinggalkan.
Demikian pula kesepakatan-kesepakatan mengenai batas wilayah akses antara warga desa dan Suku Anak Dalam yang sebelumnya terjaga ketat. Dorongan untuk menguasai sumber daya alam di hutan lebih kuat karena gepokan uangnya pun dengan segera gampang terlihat.
Konflik-konflik antara sesama Suku Anak Dalam yang ruang hidupnya kian terdesak dengan warga desa ("Orang Terang" atau "Orang Kota") dan aparat perusahaan yang berinvestasi di HPH pun semakin marak.
Sebagai contoh warga desa yang melakukan illegal logging dan menyebabkan kerusakan hutan dan pohon pada wilayah-wilayah yang dilindungi dan dianggap sakral oleh masyarakat Suku Anak Dalam masih mau membayar ganti rugi berupa denda adat.