Â
Sejak dimulainya era eksploitasi hutan melalui Hak Pengusahaan Hutan (HPH) di awal tahun 1970-an, sejak itu pula Suku Anak Dalam mulai mengalami gangguan massif dalam kehidupan mereka. Apalagi manakala pemerintah menggalakan program transmigrasi, yang meniscayakan pemberian masing-masing dua hektare lahan kepada satu keluarga transmigran. Saat itu pula penggundulan hutan, ruang hidup, dan jaminan kehidupan Suku Anak Dalam langsung terganggu.
Â
Situs berita lingkungan hidup Mongabay mencatat, program transmigasi mengkonversi kawasan hidup Suku Anak Dalam jadi petak-petak kebun yang dianggap mampu melipatgandakan ekonomi masyarakat dalam waktu singkat. Sementara lokasi transmigrasi Hitam Ulu dan Air Hitam berada persis di pinggir Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD). Batas hutan dan desa sedemikian terbuka.
Â
Di sisi lain, jalan lintas Sumatera yang menghubungkan antarlokasi transmigrasi, ikut memancing munculnya pendatang baru. Pertumbuhan penduduk di lokasi transmigrasi, terutama generasi kedua, telah memberikan tekanan berat terhadap hutan yang tak banyak tersisa.
Â
"Catatan Komunitas Konservasi Indonesi (KKI) Warsi, luas konsesi HPH mencapai 1,5 juta hektare. Eksploitasi tanpa kendali terjadi di hutan dataran rendah. HPH juga memfasilitasi pembalakan lanjutan dan perambahan melalui jaringan jalan," tulis Mongabay.
Â
Sementara itu, hutan penyangga TNBD yang semula tempat hidup orang-orang Suku Anak Dalam, habis dibagi-bagi untuk 16 perusahaan pengeksploitasi kayu. Sekarang, beberapa bekas HPH di kawasan Suku Anak Dalam telah berubah jadi hutan tanaman industri (HTI), seluas 318.851 hektare, yang sebagian kawasannya mengantongi izin gubernur dan bupati.
Â
"Saat ini kondisi orang Rimba (Suku Anak Dalam) sudah miris. Ruang hidup terkepung  perkebunan skala besar dan industri kayu yang rakus lahan," ungkap Direktur Eksekutif KKI Warsi Rudi Syaf kepada Mongabay.
Â
Hilangnya hutan menyeret orang-orang Suku Anak Dalam jauh ke luar hutan dan menempati pinggiran jalan lintas Sumatera. Alih-alih mendapat akses lebih mudah, hidup mereka justru jadi lebih rentan. Kehidupan terbuka dengan masyarakat luar membuat pola hidup orang-orang Suku Anak Dalam berubah.Â