Dan aduh, itu bapak guru yang tanggungjawab mendidik anak-anak kampung kerjanya hanya koar-koar tentang kualitas yang harus naik dan terus saja minta biaya. Padahal, anak-anak itu jadi ansos dengan Blackberry dan Jejaring Sosialnya. Kata pak guru, buka google saja lah, yang penting cepat lulus katanya. Sekolah berdiri kokoh, tapi di kelas sebelah timur sudah mulai reyot, perkakasnya bekas, untuk anak-anak tukang sapu katanya. Ealah, untuk anak-anak pak gemuk dan bapak-ibu penjilat kelasnya bersih dan ada AC-nya. Biar nyaman katanya.
Ealah, mau pintar kok repot ya? Kalau iya saya orang kaya, pintar pula, mungkin dunia-akhirat saya bisa leyeh-leyeh, lha kalo tidak pintar ya masih bisa lah leyeh-leyeh pakai uang bapak-ibu yang sudah terlanjur kaya. Kalau saya orang kecil, orang miskin, bisalah berusaha untuk dapat leyeh-leyeh dengan usaha yang cukup, IP 3.00 mungkin bisalah membawa saya kerja di perusahaan rokok. Lha, kalau saya tidak pintar? Susah sekali mau pintar, sudah bodoh, miskin. Mau apa lagi saya? Jadi kuli ya syukur, jadi petani ya gak apa-apa yang penting perut saya, istri saya juga anak-anak saya bisa terisi, persetan dengan urusan kepala kampung dan bapak-ibu musyawarahnya.
Ah repot lah, cuma orang muda yang bisa merubah kampung ini supaya tak lagi membosankan. Mungkin supaya seru, pak kepala kampung yang mendemo anak-anak sekolah, minta mereka jangan ribut-ribut tentang uang RT yang dibawa lari cukong rentenir. Atau mungkin orang pintar tidak boleh sekolah dan orang bodoh harus sekolah? Ah, biarlah itu jadi urusan anak-anak yang mengaku intelektual muda, biarlah mereka puas dulu berkoar sampai mereka sadar mereka dapat merubah dengan aksi nyata.
Ah cukup dulu lah, kalau diteruskan mungkin besok orang-orangnya bapak pimpinan kampung menangkap saya. Saya malas dituduh subversif.
Anak Kampung Sini, 4 Mei 2011
Abie Zaidannas