Di meja dekat warung kopi, aku terduduk menyaksikan betapa banyak yang musti di utarakan. tentang apapun, mata yang tak berhenti beranjak menatap, seakan keluar dari pupilnya. menyaksikan seorang kakek berjalan menggendong anaknya dikejauhan trotoar. entah ini romantika penambah syahdu kabar hujan, atau derita yang diada adakan untuk lebih mengingat kefanaan.
Suara suara gemercik yang menghujam trotoar menari nari diatas segala tanya, bentur sudah asa ia diam, tak lagi memberi logika akal sehatnya.
Semesta yang mengirimi surat surat cintanya kepada bumi manusia, ia menuliskan titahnya kehidupan yang dilalui oleh si kakek tua. diantara aku , warung kopi , dan hujan yang segera terbias pelangi, serta pejalan yang mencari tempat berteduh.