Isu itu merata terjadi di setiap ada unjuk rasa dari kaum buruh, baik yang daerahnya sudah menetapkan besaran UMK maupun yang belum. Bagi daerah yang belum menetapkan, peluang untuk terrealisasinya tuntutan itu, lebih terbuka dibanding yang sudah ditetapkan.
“Kebutuhan hidup semakin tinggi, tidak cukup dengan UMK yang hanya di angka Rp. 1 juta sampai Rp. 2 juta. Bahkan Rp 2,5 juta pun ngga akan bisa menutupi kebutuhan hidup sehari-hari,” begitu salah satu alasan kenapa mereka menuntut UMK yang lebih tinggi dari angka yang telah ditetapkan di Kabupaten/kotanya.
Masuk akal kiranya alasan yang melatar belakangi aksi itu. Sebab, tidak menutup kemungkinan harga akan terus melonjak dalam satu tahun ke depan, sedangkan UMK tidak akan berubah dalam periode yang sama.
UMK naik, kesejahteraan akan meningkat? Demikian kah adanya?
Dengan keterbatasan pengetahuan tentang ketengakerjaan pada diri penulis, UMK dibatasi oleh masa kerja. UMK yang telah ditetapkan adalah untuk mereka yang bekerja di bawah 1 tahun. Adapun yang di atas 1 tahun, dengan kebijakan-kebijakan dari perusahaan, mereka akan mendapatkan upah yang lebih besar dari itu.
Dari beberapa spanduk yang dibentangkan oleh massa, ada salah satunya yang bertuliskan ‘sudah kerja sekian tahun tapi gaji kecil’
Tidak terlalu jelas, apakah maksud ‘kecil’ di sana itu di bawah UMK atau sesuai UMK (dan memang, batasan ‘kecil’ itu tidak mudah diterka). Ok, misal kita ambil kesimpulan, bahwa ‘kecil’ di sana adalah ‘sesuai UMK’ Rp. 1,5 juta misalnya.
Kalau memang demikian, sepertinya ada sesuatu yang ‘kurang beres.’ Apakah memang di perusahaan tersebut tidak ada kebijakan untuk memberikan bonus kepada karyawanya, sebagai bentuk penghargaan kepada karyawannya yang sudah bekerja di atas 1 tahun dengan prestasi yang begitu membanggakan? Kalau memang demikian, ironis sekali.. Buruh benar-benar menjadi sapi perah.
Di sinilah, menurut hemat saya, yang sejatinya perlu ditonjolkan (tanpa mengurangi arti pentingnya para buruh menyampaikan aspirasi untuk kenaikan UMK). Bagaimana mungkin sesorang yang telah memiliki jasa tapi tidak sedikitpun mendapatakn penghargaan.
Di sini lah elemet buruh, sudah selayaknya rapatkan barisan, ‘melawan’ maju ke depan untuk menuntut hak-haknya. Perlawanan yang tidak kalah sengitnya dengan saat mengusung penghapusan outsourcing. Kita ‘paksa’ agar pegusaha membuka matanya lebar-lebar. Betapa besarnya andil dari kaum buruh dalam meningkatkan usahanya. Ini bukan masalah arogansi, tapi ini tentang hak-hak yang dikebiri.
Dan jika memang demikian adanya, tidak ada alasan bagi pemerintah untuk menunda-nunda, mengulur waktu dalam mengkaji apsirasi itu.
Kalau kita lihat dari beberapa aksi, secara garis besar, tuntutan yang didengungkan adalah ‘agar bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari.’ Itu intinya.. Dan ini jelas, berkaitan langsung dengan harga di pasaran yang terus zig-zag. PR, stabilkan harga di pasaran... Kalau memang kenaikan harga di pasaran adalah suatu keniscayaan, maka memenuhi hak-hak dari kaum buruh, adalah suatu keniscayaan. Dan salah satu hak itu adalah, penghargaan bagi yang sudah memiliki jam terbang tinggi dengan sejumlah prestasi.
Wallahu ‘alam